Tak memiliki kesibukan, Eppok berkeliling di ruangan Bos Sambodo berdua dirinya. Para karyawan mulai berdatangan satu demi satu. Masih ada di antara mereka bercermin sebelum memulai kerja. Bahkan ada seorang pria jangkung nyengir menunjukkan giginya. Barangkali dia cemas serpihan cabe menempel karena saat mandi lupa gosok gigi, sementara ada calon gebetan di kantor itu.
Bosan melihat ke arah kaca tembus sebelah itu, dia tertarik memerhatikan lebih cermat pigura jumbo bergambar lelaki tua menyeramkan yang selalu memaku tatapnya. Lalu berpindah ke pigura berukuran kecil di sampingnya. Lelaki tua menyeramkan itu ada juga di sana. Lebih muda dan cukup tampan. Dia berdiri di ujung kiri. Di ujung kanan, seorang wanita memakai kimono merah. Matanya sipit dengan mulut terlihat sedikit lebar. Tapi sudahlah, kecantikannya tetap terpancar di wajahnya kok.
Di tengah mereka beberapa anak pria bersusun paku. Usianya mungkin antara lima hingga dua puluh tahun. Yang kecil duduk di kursi bagian depan. Yang besar berdiri tegak. Berapakah jumlah mereka? Satu, dua, tiga, empat, wow lumayan banyak. Sebelas orang. Mungkin orang tua mereka setelah menikah sudah bertekad membuat tim sepak bola: The Dream Team. Bukankah jumlah anak-anak itu sebelas? Semuanya berjenis kelamin pria!
Oh, sebentar! Tepat di atas masing-masing kepala para anak, tertulis nama-nama tempat : German, Inggris, Australia, Rusia, Malaysia---hingga yang paling buncit---Indonesia. Mungkin penulisan nama-nama tempat itu menunjukkan domisili mereka. Berarti yang di Indonesia itu adalah Bos Sambodo. Dia gendut, dan terlihat lucu. Memakai sendal jepit lagi ingusan. Meskipun sebenarnya tak ada korelasi antara sendal jepit dan ingusan.
Setelah itu Eppok fokus menatap deretan buku. Dia menjangkau salah satu yang berukuran tebal dari dalam lemari. Semuanya berbahasa Inggris. Tak adakah yang bergenre fiksi?
Ketimbang stress membacanya, dia memilih menuju meja dan menghidupkan komputer. Tak ada kesibukan, itu artinya merampungkan novel. Semoga dalam waktu dekat novel itu akan kelar. Kantor itu menyediakannya waktu luang yang panjang agar bebas berselancar imajinasi.
Beberapa saat berselang, Eppok menyangkal persangkaan dan harapannya. Menjelang jam istirahat, Bos Sambodo masuk ke dalam ruangan. Tanpa bicara, dia keluar lagi, tapi beberapa menit kemudian dia datang membawa tumpukan berkas berdua Pak Budi. Seluruh berkas diletakkan di meja besar tengah ruangan. Setelah mereka berbincang sebentar, Pak Budi keluar. Eppok dipanggil si bos.
“Lelang besok ada tiga. Semua berkasnya harus sudah selesai hari ini. Kamu tinggal mengoreksi, juga mengetik tiga lembar Surat Kuasa.” Bos Sambodo rebahan di sofa seraya menaikkan level ac ke posisi full. Menghidupkan tv, lalu mendengkur. Tinggal Eppok mengelus dada mencoba bersabar. Begitulah tantangan pekerjaan. Tak semudah rutinitas yang dijalaninya selama ini, dan telah menjadi hobi: menulis novel.
Sementara waktu dia mesti menunda hobinya itu. Dia tak boleh lagi pulang larut malam. Tapi apakah bisa, sementara berkas lelang yang harus dikoreksi ada tiga? Ya, Tuhan. Mudah-mudahan Bos Sambodo berbaik hati merelakan Eppok pulang tepat pukul. Atau, paling telat pukul delapan. Namun apakah berharap si bos berbaik hati bukan suatu kemustahilan?
Pukul tiga sore Eppok menyelesaikan satu berkas. Dia baru sadar belum Shalat Dzuhur dan makan siang. Hmm, begitu sangat terlambat. Besok dan besoknya lagi, dia berjanji tak boleh mengulanginya.
“Saya boleh pulang pukul lima, Pak?” tanya Eppok sekembali dari mushola. Saat itu Bos Sambodo baru saja bangun.
“Siapa bilang?” jawabnya tak setuju. Jawaban itu ternyata dibuktikan. Mereka baru keluar dari kantor sekitar jam dua belas malam dengan kondisi kota diguyur hujan. Seperti biasa tak ada basa-basi, Bos Sambodo pulang sendirian. Eppok terpaksa rela membonceng di motor Ello. Rela bersin berkali-kali. Dan di rumah dia dibalsemi seakan mummi. Panasnya lumayan bertahan lama. Huh!
Hari ketiga, hari kempat, hari kelima, dan hari-hari berikutnya, tumbuh tanduk di kepala Eppok. Awalnya saja dia pikir bekerja di kantor kontraktor itu santai. Belakangan dia merasa terbantai. Ya, pagi hingga menjelang waktu istirahat, dia berada dalam santai yang semu. Setelah itu timbunan berkas memenuhi kepalanya. Menimbulkan amuk yang sangat. Lelang hampir terjadi setiap hari bagai serangan fajar. Pulang pukul lima sore merupakan keajaiban yang mustahil terjadi.
Setiap malam dia baru tiba di rumah ketika semua orang sudah mendengkur. Hanya Mak Wo yang bangun, membuka pintu, lalu melanjutkan tidur. Memamg Eppok menyadari ada pengecualian baginya, bebas mendengkur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi. Kala itu hanya ada Mak Wo sendirian sedang mengotak-atik channel tv. Pengecualian boleh masuk agak siang, itu pun bila sebelumnya dia pulang kantor selewat jam dua belas malam. Jika dibawah itu, tetap patokannyamasuk kerja pukul delapan pas.