“Kau!”
Mereka berteriak bersamaan. Beberapa pengunjung mall menatap heran. Eppok meringis, mencengkeram malu tangan pria di depannya, dan menyeretnya ke luar mall. Dia mencak-mencak. Pria itu hanya mengangkat bahu tak mau tahu karena dia hanya menjalankan tugas. Hal-hal negatif yang mungkin menjadi imbas, bukan lagi tanggung jawabnya.
Sebatang rokok tentu bisa menjernihkan suasana. Eppok memukul pria itu gemas sambil menunjuk sebuah papan bertuliskan: No Smoking.
“Kenapa kau selalu ada di dekatku seperti kutil menjengkelkan, Ello!” Wanita itu menyilangkan tangan di depan dada. Ello mendecak tak mau berkomentar, berjalan gegas ke parkiran motor.
Walaupun bara tumbuh di hati wanita itu, ketika Ello mempersilahkannya naik di boncengan, tak ada alasan untuk membantah. Siapa sih wanita yang memilih pulang sendirian pada malam yang mulai larut? Sementara ada seorang pria yang siap menemani. Peduli amat tampilan pria itu---katakanlah cukup membosankan---tapi jadilah sekadar mengusir nyamuk.
Motor melaju perlahan melintasi kerlap-kerlip kota. Suasana sepanjang jalan bukannya surut, menyepi, malahan bertambah ramai. Meriah!
Eppok baru menyadari kalau hari itu Sabtu malam. Malam di mana kunang-kunang jantan berkelap-kelip untuk menyinari betina yang dia incar.
Entah apa yang menggeliat di benak Ello. Dia bersenandung dengan mimik cerah. Apakah dia ingin menunjukkan ke orang-orang, bahwa belum tentu pria jelek pasti berpasangan dengan wanita buruk? Ada saatnya yang cantik berpasangan dengan yang buruk. Hidup itu berjalan adil. Tentu betapa pintarnya orang yang membuat film The Beauty & The Beast. Ya, sudah pasti Eppok wajar dibilang cantik. Apakah itu berarti Ello sosok The Beast; si buruk rupa, wajah serupa pantat kuali? Pria itu tertawa sendirian memikirkan kelindan lucu yang menggarami kepala.
Motor memasuki taman kota. Trotoar yang mengelilinginya beralih fungsi dari tempat pejalan menjadi tempat berjualan.
Entah apa yang menusuk hati Eppok. Apakah dia ingin marah dan mengunyah pria itu? Teringat kwetiau tadi, rasa laparnya bergejolak. Tapi dia tak ingin pria di depannya mengetahui.
Meminta parkir dulu untuk mengisi perut? Hello! Awal yang sangat buruk. Adalah pantangan berat bila seorang wanita kelihatan berharap kepada pria yang tak disenanginya. Apa kata dunia bila Eppok mengajaknya makan sate padang misalnya. Pasti akan ada tawaran menyusul: mau kutraktir? Ada pula kalimat sambungan: kau cantik! Dan kalimat berikutnya pasti dapat ditebak: bolehkah aku mengisi relung hatimu yang kosong?
Prettt!
“Kita makan sate padang dulu, sekalian menatap bintang. Siapa tahu ada yang jatuh, dan…”
Eppok menyela cepat. “Pasal pertama, aku tak mengajakmu singgah di sini. Pasal kedua, aku juga tak mengajuk ingin makan sate padang.”
“Pasal ketiga, kamu pasti sedang lapar.” Ello menyela tak kalah cepat. Sebuah cubitan mendarat di lengannya.
Mereka duduk di dekat gerobak penjual sate padang, membisu hingga dua piring mengebul terhidang di atas meja.
“Aku tak suka pria possesif. Ke mana-mana mengikutiku terus. Kepo banget sih! Sok perhatian!”
Ello membelalak senang. “Kata kamu possessif, Pok? Possessif itu hanya cocok untuk seorang pacar yang ingin pasangannya tetap safety. Berarti aku…” Eppok mengacungkan tinju hingga pria di dekatnya terkekeh, terbatuk keselek lontong.
“Syukurin! Uda, jangan dikasih minum. Hahaha.” Uda penjual sate menepuk jidat karena sadar belum menghidangkan air minum. Tapi bukankah sudah terbiasa di warung jajanan pinggir jalan tersedia ceret berisi air sekaligus cangkirnya? Namun karena pembeli adalah raja, si uda wajib mengalah.