Sophia and Pink

Mizan Publishing
Chapter #3

Senin Upload

Kalau mau lihat karakter asli manusia, konon, lihatlah dia pada Senin.

Jalan penuh lautan sepeda motor, sepeda onthel, becak, mobil angkutan, mobil antar jemput, mobil pribadi. Wajah-wajah tegang, mulut yang siap melontarkan sumpah serapah. Ketergesaan, kekacauan, berusaha menjadi yang terdepan dari deretan pengguna jalan. Wajah yang mencoba sumringah meski terpaksa antre di lampu merah, terbukti memiliki sifat penyabar seperti seekor kucing yang berdiri di kaki belakang, menguntit waspada tikus yang berjingkat mencuri lauk. Wajah kaku, mulut manyun, mata menyala yang siap memangsa siapa pun yang menyenggol kendaraan atau menghalangi jalan lewat.

Stiker di belakang sepeda motor atau mobil jadi hiburan tersendiri.

Boleh nyenggol, asal bahenol.

Baby sleeping in the car.

Jangan tabrak, masih nyicil.

The real men use three pedals.

Sexy girl use two pedals.

Yang pakai matic, pasti cewek cantik.

Tiiiiiin-tiiin!

“Kalau sudah ijo enggak bakalan aku tetap diam, Monyong!”

“Enggak liat apa, lampu masih merah, minta jalan aja!”

“Paaaak, Pak, sudah tahu jalan ruwet kayak gini masih narik becak!” semprot seorang ayah, dengan tiga penumpang anak-anak berseragam rapi yang siap ikut upacara apel bendera merah putih.

Si Tukang Becak menyeringai lebar. Wajah hitam, mulut yang lebih hitam akibat terpapar rokok klobot jagung; bersiap mempertunjukkan kekuatan terhebat. Siapa manusia dengan tangan paling berkuasa di dunia? Hanya dua orang: Presiden Amerika dan tukang becak. Bila Barack Obama tanda tangan dan memerintahkan perang, US Army harus bersiap. Bila tukang becak mengangkat tangan, berniat lewat, mobil-mobil harus mengalah. Polisi paling sangar dengan kumis lebat, pistol di pinggang dan pentungannya pun tak hendak menghalangi.

Maka, keriuhan jalan di Senin pagi semakin meriah dengan lalu-lalang becak, alat transportasi yang berlomba antara bensin dan tenaga manusia.

Sophia lebih senang menggunakan sepeda.

Selain membakar lemak, mendukung gerakan Green Living, mengurangi polusi, memelihara ozon di daerah kutub; cewek dengan sepeda di pagi hari menjadi pemandangan yang sangat eye catching.

Seragam, tas ransel di punggung, sepatu kets, botol minum, sepeda, dan helm pengaman. Sweet girl, tough, clever. Apalagi, bila menemukan cowok dengan kebiasaan serupa, wah! Meski berkeringat, sensasi setiba di sekolah sangat berbeda dengan mereka yang naik dalam mobil tertutup.

Sophia biasa membawa baju ganti, membasuh muka dan merapikan diri lagi di sekolah. Keringat sebesar jagung tak tanggung-tanggung menetes di dahi.

Kalau jalan raya memberikan pemandangan suntuk menyebalkan, sekolah memberikan suasana lain lagi. Tentu, karena di antaranya ada anak-anak yang berwajah tegang dengan pekikan mengerikan.

“... tugasku ketinggalan!”

“Flashdisk-ku masuk mesin cuci!”

“Komputer nge-hang, aku enggak bisa ngerjain PR!”

“Aku enggak ketemu warnet, enggak bisa ngeprint pagi-pagi!”

“Sabukku! Dasiku juga enggak kebawa ... aaahhh!”

“Ya, ampun, Tia, kenapa enggak masuknya Senin, sih? Mana harus presentasi! Mbok, ya, sakit pakai planning, jangan Senin. Hari ini, kelompok kita harus maju!”

“Sorry, sorry ... aku enggak bisa ikut kerja kelompok Sabtu kemarin. Aku kondangan sama ortu ....”

“Kok, aku enggak tahu ada ulangaaan?”

“Lho, kemarin sudah kita upload di Facebook, kok. Kamu sendiri yang enggak pernah nongol di grup. Nah, nyetatus tiap menit!”

Sophia merasa jantungnya ikut berdenyut-denyut, berpindah dari dada menuju perut, merosot ke kantung kemih, lalu jatuh di dengkul. Kadangkadang, keluhan teman-temannya sama sekali bukan urusannya, tetapi melihat wajah-wajah duka mereka pada Senin, seolah bersiap memasuki kamp konsentrasi, membuat perasaannya jatuh iba.

SMA Utama berada di urat nadi Kota Surabaya. Sedikit menjorok dari jalan raya, terlindung padatnya gedung menjulang dan pabrik roti yang senantiasa menguarkan aroma sedap setiap saat. Konon, bau tertentu mampu menghalau stres, yang dikenal sebagai aromatherapy. Aroma roti, salah satunya, setidaknya menghalau stres bagi siswa pada Senin yang tengah kelabakan mencari alasan tentang tugas; tapi ... menambah stres bagi siswa yang belum sempat sarapan.

Dan, selalu ada wajah-wajah yang nyaman dipandang pada Senin.

Wajah guru-guru yang baik hati, yang tersenyum lebar dengan mata berbinar. Menyambut satu demi satu siswa di gerbang, menerima salam takzim anak-anak, menanyakan kabar kesehatan masingmasing. Meski kadang, hati Sophia tergelitik untuk mengetahui: sebahagia apa para guru menjalani Senin dua jam ke depan? Teman-temannya yang belum menuntaskan tugas, kewajiban menghukum, dan memberikan konseling bagi mereka yang agak kelewat batas pacaran atau bolak-balik bolos, tak mengumpulkan tugas.

Sophia memilih duduk di bangku depan, diapit kawan-kawan tersayang. Di baris kanan, pasukan feminin dengan komando Mohca, Kia, Feby, dan Naya. Di sebelah kiri, pasukan maskulin dengan arahan Vandes, Novan, dan Asril. Bukan karena ketua kelas, Sophia suka berada di garda paling muka, tetapi ada hari-hari keramat tertentu membuatnya bersedia menjadi tumbal bagi teman-teman. Duduk manis di depan menjadi sasaran pertanyaan guru, menjadi sasaran perintah untuk mengerjakan tugas di papan tulis, menjadi tumpuan untuk membantu mengambilkan absensi yang tertinggal atau spidol boardmarker yang habis isinya. Tidak semua hari keramat, tetapi Senin, hari paling dibenci manusia sedunia adalah hari keramat bagi Sophia.

Kelas II IPS-2 berada di lantai 2. Lebih aman dari kebisingan, dekat dengan daun-daun pohon raksasa yang rimbun menjuntai. Pada musimnya, manggamangga menjulur masuk teras, anak-anak putri sepakat menyantapnya kala masih kecut sebagai bahan rujakan.

“Lumayan, buat obat PMS,” Kia menjelaskan.

Kelas Sophia nomor dua dari ujung, bersebelahan dengan II IPS-1. Kelas-kelas sosial selalu berisi orang-orang yang pandai berorasi, dipenuhi jiwa seni, senang dengan segala sesuatu yang tidak mengikat, hidup dipenuhi kekonyolan dan banyolan. Meski bukan orang-orang eksakta, bukan berarti kelas sosial berisi anak-anak dengan inteligensia jongkok. Beberapa di antaranya meraih skor tertinggi untuk tes kecerdasan, tetapi panggilan jiwa mengundang mereka untuk memasuki kelas sosial demi cita-cita besar: mengatur kepentingan hajat hidup orang banyak. Jiyaaah! seru Sophia, tiap kali Vandes bercerita tentang keinginannya menjadi pemimpin masa depan.

Kelas Sophia full colour.

Empat dindingnya memiliki warna berbeda. Kepala sekolah yang bijaksana memerintahkan anakanak memilih sendiri warna dinding yang diperbarui tiap tahun. Biru dipilih Vandes dan kelompoknya, mewakili maskulinitas. Ungu adalah warna pilihan Kia yang menyukai sesuatu yang girly.

“Bukannya girly itu pink, ya?” Feby bertanya.

“Ungu itu warna janda,” sahut Asril.

“Sembarangan!” sembur Kia, sewot. “Ungu itu warna perempuan yang suka kesendirian, tahu!”

“Sekarang enggak zamannya cewek selalu pink,” bela Naya.

Warna lainnya adalah oranye.

“Warna cerah membuat bergairah,” kata Naya. “Biru dan ungu sudah membuat perasaan redup.”

Sisa isi kelas tak terlalu mempermasalahkan warna dinding. Tetapi dengan warna biru, ungu, dan oranye di tiga sisi, tentu warna keempat haruslah pilihan tepat.

“Hitam!” Novan mengajukan pendapat.

“Emang kuburan?” tolak Naya.

“Kia, Naya, yang pendapatnya sudah dikabulkan, dilarang bicara!” kata Vandes.

“Lha, berarti kamu juga!” seru Naya.

“Hijau!” kata Novan lagi.

“Kalau sudah ada biru, jangan pakai hijau, Van,” sergah Asril.

Merah. Kuning. Pink. Masing-masing mengemukakan pendapat dan mereka yang selama ini hanya diam menjadi tersulut untuk memberikan masukan. Riuh rendah suasana saat itu dan seluruh mata lalu tertuju pada seseorang.

“Bagaimana, Bu Ketua?”

Sophia mengerutkan dahi.

“Begini ... warna itu memiliki makna sendirisendiri. Ada aura yang dibawa. Konon kabarnya, magenta itu mencirikan anak-anak dengan karakter indigo, karakter super yang muncul dengan diamdiam, masif, menyerupai mutan. Hitam adalah warna yang kuat, tetapi memberikan energi negatif sebagaimana warna-warna gelap lain, macam cokelat tanah, biru tua sekali, merah tua sekali, hijau tua sekali ....”

“Ya, ampun!” potong Vandes. “Enggak usah pakai teoriii ....”

“Kebanyakan baca buku! Enggak aplikatif amat! Cepetan!” sergah Asril.

“Enggak usah kebanyakan mikir, Fi,” saran Kia. “Feeling saja.”

“Intuisi,” tambah Feby.

“Naluri,” Naya melengkapi.

“Enggak usah pakai halal haram, positif negatif, lebih kurang,“ Novan mengingatkan.

Sophia merengut, “... lha, kalian minta pendapat aku! Ya, aku jelasin!”

“Maksudku, enggak usah bikin kami-kami yang emang enggak seberapa pintar ini jadi pusing,” kata Asril.

“Sembrono! Aku pintar, yooo ...!” seru Vandes.

“Aku juga! Aku juga!” seru Naya.

Sophia menjentikkan ibu jari dan jari tengah, “... putih saja, oke? Warna ini merupakan spektrum warna.”

Maka, tiap kali duduk di bangku paling depan, seperti Senin hari ini, menatap dinding putih yang membentang di hadapan dengan gambar Presiden dan Wakil Presiden; dilengkapi Burung Garuda gagah dan bendera Merah Putih tegak di sudut ruangan, Sophia selalu tersenyum sendiri.

Memandang dinding putih itu membuatnya merasa berkuasa mengalahkan teman-temannya.

Hahaha ....

Perasaan berkuasa itu indah sekali!

Pantas, orang berebut kursi kekuasaan! Seperti di atas angin, mengangkasa, melenting ke atas dan membubung. Eits, tak boleh sombong, ya! Matematika adalah pelajaran favorit. Akun tansi juga. Geografi juga. Tetapi, Sejarah Dunia, so sophisticated. Apalagi ....

“Kalau kalian melihat bagaimana penaklukan Shalahuddin Al-Ayyubi, bukan sekadar penaklukan dengan semangat idealisme. Al-Ayyubi membawa kemajuan pesat bagi teknologi persenjataan, negosiasi, dan spionase. Bayangkan, menyeberang dari Mesir menuju Yerusalem, yang disiapkan selama belasan tahun.”

Yang bersemangat menajamkan mata dan pendengaran bukan hanya Si Pintar Vandes. Asril yang konyol dan Novan Si Pengantuk pun memperhatikan dengan antusias. Seisi kelas takjub dengan kemampuan narasi Si Penutur sejarah. Apalagi Mohca, Kia, Feby, dan Naya. Sophia tak terkecuali.

“Aaa, kamu terpesona, yaaa?” tuding Kia.

“Kamu juga, kaaan?” Sophia balik menuding.

Lihat selengkapnya