Langit sore di padang barat itu selalu sama: datar, sunyi, dan berwarna tanah. Debu mengambang di antara roda-roda berat truk logistik yang mengangkut drum logam tanpa label jelas. Di dalam Truk duduk dua pria: satu menyetir dengan serius, satu lagi diam, berkacamata hitam, dengan tongkat lipat di lututnya.
Dialah Navid—bukan nama aslinya, tapi nama panggilan dia. Usianya lima puluh lebih, matanya telah tertutup sejak remaja, tapi pikirannya seperti peta hidup. Ia tidak melihat, tapi tahu kapan harus memperingatkan:
"Turunkan gigi, tikungan tajam dua detik lagi."
"Berhenti sebentar, ada pos jaga yang biasa tertidur di jam ini."
Para sopir menyebutnya “mata ketiga”. Dia tidak punya GPS, tak pernah melihat jalan, tapi bisa menjelaskan jalur pegunungan berkelok sepanjang ratusan kilometer hanya dari aroma pohon, arah angin, dan suara roda yang memantul di batuan.
Rumahnya kecil, di balik bukit berkerikil. Hanya satu radio tua, botol-botol kosong bekas parfum, dan rak buku braille yang tak tersentuh. Hidupnya sederhana, tidak pernah bertanya banyak, tidak pernah menjawab banyak.