Navid mengatur volume radionya ke titik paling rendah. Ia mendekatkannya ke telinga, seperti anak kecil yang takut kehilangan bisikan ayahnya. Tapi malam itu, tidak ada suara dari luar, hanya suara napasnya sendiri—terputus, ragu, penuh rasa bersalah.
Sampai pada pukul 02.41 dini hari.
Suaranya kembali.
Bukan sapaan, bukan perintah. Hanya satu kalimat:
> “Kami tidak ingin matamu. Kami ingin jalanmu.”
Navid tidak langsung menjawab. Ia hanya menekan tombol pemutar ulang, mendengarkan kalimat itu tiga kali. Lalu ia berbicara—untuk pertama kalinya ke udara yang ia tak tahu kepada siapa disampaikan.
> “Kalau aku sebutkan satu tempat, dan besok ada yang berubah… berarti kalian nyata."
Hening.
Lalu suara itu menjawab: