Pagi setelah runtuhnya Jembatan Tuli, wilayah barat negeri itu diselimuti keheningan yang menyesakkan. Tidak ada berita resmi, tidak ada pengumuman. Tapi dari bisik-bisik petugas logistik dan gumaman supir-supir lama, Navid tahu: mereka menyadari ada yang tidak wajar.
“Jembatan itu sudah tua, tapi tidak mungkin roboh begitu saja,” kata seseorang di radio logistik yang disadap diam-diam.
“Truk ketiga itu… penuh. Sangat penuh.”
Penyelidikan dimulai.
Tidak secara resmi. Tapi Navid bisa merasakannya dari perubahan napas orang-orang di sekitarnya. Dari caranya mereka bicara lebih pelan. Dari suara langkah militer yang makin sering mengunjungi garasi logistik.
Satu demi satu, orang yang pernah satu rute dengan Navid dipanggil.
Beberapa tidak kembali.
Lalu, malam itu, radionya—yang selama ini menjadi satu-satunya sumber komunikasi dengan suara-suara asing—diam total.
Tak ada kode. Tak ada klik. Tak ada desiran kabut suara dari seberang gelombang.
Hanya bisikan dari dalam dirinya:
“Apa mereka meninggalkanku?”
Navid mencoba tetap tenang. Tapi ia tahu, diam bisa berarti dua hal:
1. Mereka tak bisa menjangkau lagi.