Navid duduk di bangku kayunya, ditemani suara hujan tipis yang mengetuk jendela toko.
Radio tuanya, seperti biasa, hanya mendesis pelan. Tidak ada suara. Tidak ada pesan. Hanya kenangan yang belum selesai.
Di pangkuannya, ada selembar kertas tebal. Tangannya menyusuri garis braille pelan-pelan, mengingat susunan kata yang sudah ia latih bertahun-tahun dalam benaknya.
Hari itu, ia memutuskan menulis sesuatu yang berbeda. Bukan untuk anak-anak korban perang. Bukan untuk suara asing di radio. Tapi… untuk dunia itu sendiri.
---
“Untukmu, Dunia…”
(tulisan dibacakan dari mesin suara miliknya)
Aku dilahirkan dalam gelap.
Bukan karena Tuhan lupa menyalakan lampu, tapi karena dunia menaruh cahayanya di tempat yang tidak bisa kujangkau.
Mereka bilang aku buta.
Tapi tahukah kamu…
Aku bisa melihat lebih banyak dari yang kalian sangka.