Garis takdir terus memanjang dalam kehidupan yang senantiasa berputar. Segala hal telah tertakar. Aku percaya, takkan ada yang tertukar. Tuhan telah menggariskan takdir dengan sebaik-baiknya kadar. Kehidupan ini perihal tanggal dan tinggal. Beberapa hal mengisi relung-relung untuk tetap tinggal. Tak jarang pula, beberapa hal harus tersingkir dan tanggal. Peristiwa yang mengiringi kata “tinggal” menuai suka cita. Ah, sudah barang tentu ibuku teramat bahagia menyambut hari kelahiranku sebagai putri pertama. Sudah barang tentu, ayahku turut merasakan suka cita, kala diriku hendak “tinggal” di dunia, dalam timangan ibu yang jelita, dalam dekapan ayah yang perkasa. Lain halnya dengan kata “tanggal” yang kerap kali diiringi tangis tanpa henti. Air mata deras mengaliri pipi. Perasaan sedih tak terperi.
Sembilan belas tahun lalu, ibu masih menimangku dengan suka cita. Begitu pula ayah yang seluruh peluhnya terseka sepulang kerja, sebab memelukku dengan gembira. Soraya, begitulah nama yang diberikan oleh ayah terhadapku. Ia bilang, suatu hari nanti aku akan bersinar serupa rasi bintang tsurayya. Ah, teramat disayangkan. Tak ada yang istimewa dalam diriku. Paras yang biasa-biasa saja, kemampuan non-akademis yang biasa-biasa saja, kecerdasan yang setara dengan kawan lainnya. Sama sekali tak istimewa. Tersenyum secukupnya, berbicara ala kadarnya, tawa seadanya, emosi yang terkadang naik turun semaunya. Hingga timbullah sebuah peristiwa. Mimpi-mimpi yang terus berdatangan, kemudian menjadi nyata. Tak ada satupun yang percaya. Ibu, ayah, guru, teman, bahkan tetangga tak sekalipun mempercayainya. Mereka bilang diriku hanya mengarang cerita. Bahkan tak jarang pula disebut sebagai orang gila. Tak ada yang berani mendekat apalagi bermain bersama. Emosi dalam diriku memuncak begitu saja. Aku sudah tak tahan lagi, benar-benar tak terkendali. Mencakar beberapa teman laki-laki. Menjambak beberapa teman perempuan. Hingga pada akhirnya, kaki dan tanganku harus mendekap dalam tiang pemasungan. Tiga hari lamanya, dipasung sendirian, tanpa teman, tanpa pembicaraan. Beruntung, dokter jiwa segera datang, menjemputku untuk tinggal dalam rumah sakit jiwa sementara waktu. Dan benar saja, diriku memang mengidap penyakit kejiwaan. Ah biarlah, peristiwa itu telah menjadi memori masa lalu.
Waktu terus melaju, menggugurkan beberapa senyuman, tangisan, kisah manis,getir, pahit di masa lalu. Tujuh tahun sudah diriku harus tanggal. Menanggalkan kampung halaman, dengan orang tua harus berjauhan. Sebab diriku memilih untuk tinggal dalam suatu tempat dalam sudut kota, tempat itu bernama pondok pesantren. Berat rasa hati bila harus pergi dari kampung halaman untuk tinggal dalam sudut perantauan. Akan tetapi, waktu mampu mengubah segala persepsi burukkku perihal tinggal di pesantren. Tangisan telah berubah menjadi senyuman. Begitu pula kesedihan yang berubah menjadi gelak tawa tak terelakkan. Sungguh teramat nyaman hidup dalam hiruk pikuk pesantren.