“Sek…sek, Ra, enteni sarungku blorot.”[1] Ucap seorang perempuan berjilbab abu-abu. Ia masih sibuk dengan kain sarung yang tak kunjung rapi, ia terus berusaha membenahi.
“Ayo Echa, nanti terlambat sudah bel pertama.” Ucapku terhadap Echa yang masih kesulitan memperbaiki posisi sarungnya.
Dalam hiruk pikuk dunia pesantren, bel berbunyi merupakan salah satu hal yang kami takuti. Segala kegiatan kami berpacu pada dentingan jam, serta getaran bel. Dua bel sebelum waktu sholat. Bel pertama sebagai tanda masuknya waktu sholat, berkumandangnya adzan. Sedangkan bel kedua sebagai pertanda adzan telah selesai, saatnya untuk melantunkan syi’ir-syi’ir pujian. Dua bel kembali berbunyi sebelum kegiatan. Bel pertama berbunyi lima belas menit sebelum kegiatan dimulai. Bel kedua sebagai pertanda bahwa kegiatan akan segera dimulai.
“Kring…kring..”
“Lho kan, Cha, telat. Sudah bel dua. Ayo, kita pasti ta’ziran.”[2] Ucapku terhadap Echa dengan nada sebal.
“Maaf ya, Ra, kita jadi terlambat.” Ucap Echa
Ucapan Echa hanya kubalas dengan anggukan. Malas sekali rasanya bila harus ta’ziran.
“Echa, Sora. Kalian terlambat, ayo ta’ziran. lalaran[3] dua puluh bait sambil berdiri.” Ucap mbak Marsha, koordinator Departemen Munadhoroh pondok.
Departemen Munadhoroh merupakan salah satu pengurus pondok pesantren yang bertugas mengatur kegiatan-kegiatan berbasis kitab. Mulai dari kajian kitab kuning (K3), hingga bahtsul masa’il. Sementara itu, Echa dan aku terus lalaran bait-bait nadzom alfiyah. Membaca dua puluh bait bukanlah hal yang memakan waktu lama. Akan tetapi malu yang terasa dalam diri kami bertahan cukup lama. Belum lagi selepas lalaran pembimbing kajian kitab kuning kelompok kami sudah rawuh.[4] Ah, lengkap sudah perasaan malu kami.
Selepas melaksanakan ta’ziran kami memasuki musholla yang merupakn tempat berlangsungnya kajian kitab kuning. Kami duduk terlebih dahulu, kemudian berjalan dengan posisi lutut hingga mata kaki terlipat ke arah belakang. Lutut kanan dan kiri melangakah bergantian. Sebab mbak nihayah, pembimbing kelompok kami telah rawuh. Dalam kehidupan pesantren sikap sopan santun ditanamkan sejak dini. Sebab itulah, berjalan dengan cara yang demikian merupakan salah satu cara kami bersikap sopan serta menghormati pembimbing kami.
“Echa, Sora, kalian terlambat?“ Tanya seorang perempuan berjilbab kuning kunyit dengan wajah yang demikian teduh.
“Nggeh[5] mbak Nihayah. Maaf, kami terlambat.” Ucapku dengan menundukkan kepala.
Rasa bersalah menggelayuti hati, khawatir akan ridho guru yang akan luntur tersebab kesalahan diri. Sebab itulah, aku masih belum berani mendongakkan kepala sama sekali. Menunggu kalimat apa yang akan terucap dari bibir mbak Nihayah.
“Ya sudah, kalau begitu sekarang Sora yang membaca kemudian Echa yang menjelaskan. Nanti saya bantu. Dibuka kitabnya semua, Sora coba dibaca halaman 15.” Ucap mbak Nihayah dengan lemah lembut.
***