“Cha, Echa. Ayo bangun, antrian mu sekarang. Ruqoyyah sudah selesai mandinya.” Ucapku terhadap Echa yang masih hanyut dalam tidur paginya. Tidur selepas sholat shubuh dengan mukena yang masih menempel pada tubuh memang tiada tandingan, amat nyaman.
“Aduh Ra, aku ijik ngantuk. Selatono disik wes.”[1] Ucap echa dengan mata yang masih terpejam.
“Aku udah mandi, Cha. Ayo bangun. Nanti kamu telat, kamu presentasi pak Fawaz hari ini. Jam pertama lho. Ini udah jam tujuh lebih” Ucapku sembari menarik tangan Echa agar segera terbangun dari tidurnya.
“Lho, aku presentasi pak Fawaz jam pertama ra. Waduh, telat aku” Ucap Echa dengan menepuk jidatnya.
“Ya udah, kamu cepetan mandinya, Cha. Aku siap-siap dulu.” Ucapku
Pak Fawaz adalah dosen kami. Beliau tinggal jauh diluar kota. Sehinga mata kuliah beliau diadakan dua minggu sekali. Sebagai gantinya, kami masuk lebih awal dan pulang lebih akhir. Dalam masing-masing benak kami pak Fawaz adalah dosen yang kami takuti, disiplin, tegas. Dalam mata kuliah beliau, presentasi adalah hal yang wajib, tak peduli bila berhalangan apapun. Entah izin, sakit, tiada toleransi. Bahkan bila sakaratul maut telah terjadi tetap wajib presentasi. Tanpa presentasi, mengulang mata kuliah pada semester mendatang adalah hal yang pasti. Itulah kalimat-kalimat beliau yang terngiang dalam benak kami. Namun hari ini, kalimat itu seolah tiba-tiba menepi, melihat keadaan Echa yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidur pagi. Ah, mau bagaimana lagi. Tak mungkin meninggalkan Echa eorang diri. Ruqoyyah, Akshita, dan Tata sudah berangkat dengan pakaian rapi. Sedangkan diriku, masih menanti Echa yang baru saja keluar dari kamar mandi. Biarlah, Echa sudah ku anggap layaknya saudara sendiri. Ia tak boleh ku tinggalkan seorang diri.
***
23 februari 2019, Institut Agama Islam Jombang.
Entah berapa kecepatan kaki kami dalam berlari. Jantung terpacu sebab berkejaran dengan waktu. Beruntungnya, pengorbanan kami dengan berlari yang kecepatannya tak mampu ku ukur seorang diri membuahkan hasil yang sesuai ekspektasi. Kami sampai tepat waktu. Masuk melalui pintu belakang auditorium tepat bersamaan dengan pak Fawaz yang juga memasuki auditorium. Mata kuliah pak fawaz merupakan mata kuliah parallel institut, sehingga kuliah berlangsung pada auditorium.
Echa melangkahkan kaki menuju bagian depan auditorium. Memulai presentasi materi yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Tak ada yang istimewa, sama seperti mata kuliah lain serta pertemuan-pertemuan sebelumnya. Mendengarkan penjelasan, menulis beberapa huruf sebagai gambaran pemahaman, serta mendengar beberapa perdebatan dalam sesi pertanyaan.
“Sekian yang dapat saya sampaikan. Kurang lebihnya mohon maaf. Kami beri kesempatan dua penanya putra dan dua penanya putri.” Ucap Echa yang sedang bertindak sebagai moderator presentasi kali ini.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya perwakilan dari prodi ilmu hadits. Saya ingin bertanya” ucap seorang lelaki dari balik tirai.
“Siapa ya yang bertanya? Kenapa suaranya ndak asing.” Gumamku.
Suara itu terasa begitu akrab di telingaku. Tapi dimana aku pernah mendengarnya? Apakah itu suara cak-cak ndalem[2]atau suara muadzin masjid jami’ atau orang yang pernah kebetulan bertemu sewaktu beli seblak. Posisi dudukku pun sedang tidak strategis, bukan tepat disebelah satir[3] sehingga dapat mengintip siapakah yang sedang bertanya. Menuntaskan rasa penasaran juga pertanyaan yang berkelindan dalam tempurung kepala.
***
“Cha, ayo pulang, Cha. Aku ngantuk.” Ucapku
“Bentar lagi ya, Ra. Nunggu balasan chat dari Rifki.” Ucap Echa.
“Rifki? Rifki siapa sih?” Ucapku.
“Itu lho, Ra, Rifki arek ganteng, prodi ilmu hadits. Awakmu gak eruh, Ra?”[4] Tanya echa dengan menatap dalam-dalam mataku. Pandangan echa yang semula terfokus pada ponselnya beralih menuju bola mataku.
“ndak” jawabku dengan menggelengkan kepala.
“Eh, bentar-bentar Cha. Prodi ilmu hadits? Yang tadi jadi penanya pertama itu? “ Tanyaku.
Angan ku kembali mengingat suara lelaki itu. Apalagi ecEha menyebut prodi yang sama dengan yang disebut oleh lelaki itu. Apa benar suara itu suara rifki? Jika benar demikian, dimana aku pernah berjumpa dan mendengar suara Rifki? Apakah aku dan Echa sering bertemu rifki kala membeli seblak, pentol pak mas, atau telur sembunyi?
“Bukan, Ra. Rifki ada disebelah penanya itu. Aku juga ndak tau siapa penanya pertama itu. Kenapa kamu nanya gitu, Ra? Atimu blendung-blendung ta krungu suarane?”[5] Tanya Echa.
“Eh, ndak Cha. Aku Cuma ngerasa gak asing aja sama suaranya. Apa kita pernah ketemu orang itu waktu beli seblak, pentol pak mas, atau telur sembunyi gitu? Atau ketemu waktu apa gitu?” Tanyaku kembali. Sebab rasa penasaran masih menggelayuti.
“Gak pernah Ra. Kita gak pernah ketemu sama dia. Aku baru pertama kali ini lihat dia. Eh, tapi aku salut lho Ra sama penanya itu. Dia punya semangat menuntut ilmu yang tinggi. Gak kayak kita yang glembosi[6] jadi insecure aku. Dia yang punya kekurangan aja semangatnya tinggi.” Ucap Echa.
“Kekurangan? Kekurangan gimana? Kita kan emang manusia biasa, jadi wajarlah kita gak akan luput dari kekurangan.” Ucapku
“Sorry to say, Ra. Dia tunanetra. Karena itu, aku jadi kagum dengan semangatnya.” Ucap Echa.