26 Februari 2019.
“Assalamualaikum.” Ucap Echa sembari mengetuk pintu
“Wa’alaikum salam. Echa, Sora, ayo masuk.” Ucap mbak Kirana sembari membuka pintu.
“Ada apa Cha, tumben malam-malam datang kesini?” Tanya mbak Kirana terhadap kami yang baru saja duduk dalam kamar keamanan.
“Jadi begini mbak, ada yang ingin disampaikan Sora mengenai mimpinya.” Ucap Echa.
“Mimpi?” Ucap mbak Kirana sembari mengernyitkan dahi.
“Nggeh mbak, jadi dua hari lalu kulo[1] mimpi mbak. Kulo takut mau cerita. Dulu, mimpi-mimpi kulo seringkali jadi kenyataan. Kulo khawatir karena mimpi ini tentang pondok. Kulo mimpi salah satu kamar di komplek al-masyithoh terbakar. Waktu mau dipadamkan belum bisa, karena air kamar mandi habis. Diesel juga gak bisa nyala, karena solarnya juga habis. Terus..”
Belum usai kisah yang ku ceritakan terhadap mbak Kirana. Sebab, seseorang datang sembari berlari dan menyebut nyebut nama mbak Kirana.
“Ran..Ran, deloken kuwi onok opo ya kok ketok padang-padang ngunu.”[2] Ucap mbak Laras.
“Teko ngendi mbak, sing ketok padang kuwi?”[3] Ucap mbak Kirana.
“Dari arah komplek al-Masyithoh sepertinya.” Ucap mbak Laras.
“Al-Masyitoh? Waduh, ndang ndangan iki kobongan. Sora iki jek tas crito mari ngipi komplek al-masyithoh kobongan. Wes ndang ayo rono, tak celukne cak Faisal saiki. Cek di ewangi ngko.”[4] Ucap mbak Kirana.
Sejenak suasana terasa mencekam. Diriku terdiam, terbius udara malam. Aku khawatir, mimpi-mimpiku akan menjadikan hidupku suram. Melemparku kembali dalam masa lalu kelam. Detak jantungku berdenyut tak beraturan. Mbak kirana, memanggil cak Faisal sembari berlarian. Ku langkahkan kaki mengikuti Echa dan mbak Laras yang berada di depan. Sudah banyak orang berkerumun dibagian bawah komplek, sebab komplek al-Masyithoh berada di lantai dua. Tak ada satupun yang berani ataupun berniatan untuk naik. Akan tetapi komplek al-Masyithoh Nampak begitu sunyi. Tak ada satupun yang keluar dari kamar. Apakah mereka tak tahu apabila telah ada yang terbakar. Api bisa saja diam-diam menjalar.
“ah…” suara seorang wanita menjerit panjang.
Mbak kirana, mbak Laras, serta cak Faisal membawa timba berisi air. Berlarian menaiki tangga. Mendekati kamar dua, tempat api menyala. Hanya satu harapku kali ini, semoga tak ada korban jiwa. Tiba-tiba salah seorang santri keluar dari kamar dua.
“Lho, mbak Kirana, mbak Laras, cak Faisal? Kenapa bawa timba penuh air mbak? Mau kemana?” Tanya Hanum yang baru saja keluar dari kamar dua.
“Lha, kamu ndak papa kan? Yang lain juga masih baik-baik saja kan?” Tanya mbak Kirana.
“Alhamdulillah, gak papa mbak. Emang ada apa sih?” Tanya Hanum.
“Lho, kamarmu kobongan kuwi num. Genine mbulat mbulat ngunu kok”[5] Ucap mbak Kirana.
“Lho, ndak mbak. ndak ada apa-apa mbak. lampu kamarku memang mati. Terus dikamar temen temen main lilin. Lilin sepuluh dinyalain semua. Terus Ilma pengen atraksi, dia buat obor terus disembur pakai minyak tanah. Jadi apinya kelihatan besar. Terus nana takut, akhirnya dia menjerit gitu. Terus ini ada apa mbak, kok rame, banyak orang dibawah?” Tanya Hanum.
“Ealah… kita ini udah panik. Kirain kebakaran karena apinya kelihatan besar, terus Sora juga habis mimpi kamarmu kebakaran. Berarti semuanya baik-baik aja kan? Kalau gitu, udahan dulu mainnya. Bilang ke temen kamarmu, suruh udahan. Bikin panik orang lain jadinya.” Ucap mbak Kirana.