“Ra, keluar yuk nanti. Mumpung hari minggu, aku udah ajakin yang lain juga.” Ucap Echa.
“Iya Ra, ayok tumbas[1] Mie Ayam depan SMK atau bakso mercon. Ayok Ra, pengen makan di luar.” Ucap Akshita.
“Nek gak ngunu, ayo grab-food ae wes. Ayo nang kampus.”[2] Ucap Echa.
“Ndak wes, kalian keluar aja ndak papa. Aku lagi gak pengen keluar.” Ucapku.
Aku memang sedang tak ingin makan di luar, atau sekedar berjalan-jalan menikmati hari. Aku sedang tak ingin pergi sama sekali. Aku hanya ingin duduk diam di sudut kamar, dengan melakukan beberapa aktivitas ringan.
“Ayolah, Ra. Aku dan tata juga ikut kok. Nanti kamu sendirian di kamar kalau gak ikut kita keluar.” Ucap Ruqoyyah.
“Makasih ya temen-temen atas penawaran dan ajakannya. Maaf sekali ya, aku bener-bener lagi ndak ingin keluar.” Ucapku.
“Kita ziaroh dulu wes, kita ziaroh dulu ke pesarean mbah Wahab ya, atau kalau kejauhan kita ke pesarean mbah Hamid ya. Ayok ikut Ra.” Ucap Tata.
Mendengar ucapan Tata, pikiranku melayang begitu saja. Terbersit kedamaian dalam pesarean mbah Wahab. KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang tak pernah sepi pengunjung. Apalagi semenjak dikukuhkan menjadi pahlawan, peziarah berdatangan. Sesekali diri ini masih datang menziarahi, sowan terhadap beliau masyayikh pesantren yang telah mendahului. Memang benar hanya sesekali, sebab pesarean beliau selalu ramai dikunjungi. Begitu besar jasa beliau, bukan hanya terhadap bangsa sebab beliau menjadi salah satu pahlawannya. Akan tetapi juga terhadap diriku yang sama sekali tak istimewa, tanpa beliau serta para masyayikh diri ini takkan mampu mengetahui kebesaran Tuhan, takkan ada ilmu dalam diriku tanpa wasilah serta barokah beliau. Tergambar dengan jelas dalam ingatanku, pesarean beliau dengan nuansa putih, lantai yang dilapisi keramik berwarna putih. Dinding bagian dalam dengan cat putih. Pesarean yang juga berwarna putih. Serta bunga sedap malam berwarna putih yang selalu menghiasi. Ketentraman menyeruak begitu saja, larut dalam lantunan tahlil berpadu dengan aroma bunga. Satu hal lagi yang membuatku terkesima, berwudhu lansung dari padasan. Aliran air wudhu yang menyisakan kesegaran dan ketenangan. Ah sayang, aku hanya sesekali menziarahi. Sebab suasana yang tak lagi sepi, sedangkan diri ini lebih mencintai sunyi.
Hati ini akan menuntun langkah kaki dengan sendiri, menziarahi pesarean mbah hamid, K.H. Abdul Hamid Chasbullah. Karomah beliau melegenda di kancah pesantren kami. Konon, burung-burung maupun benda yang melintas tepat di atas makam beliau akan terjatuh. Hampir setiap pagi, diriku berdoa, bersimpuh serta mengaji di pesarean mbah hamid. Suasana didalamnya benar-benar sunyi. Syahdu dengan suara gemerisik dedaunan sesekali. Tak banyak peziarah yang datang menziarahi. Sebab itu, suasana terasa syahdu, sepi, sunyi. Pepohonan rimbun menghiasi area pesarean. Seperti halnya di pesarean mbah wahab, pesarean mbah hamid juga dihiasi bunga sedap malam. Hal yang selalu membuat diri ini ingin kembali menziarahi adalah ketika berdoa terhadap ilahi sembari menengadahkan tangan, angin bertiup dengan sopan seolah menyampaikan sebuah pesan, daun-daun kekuningan berguguran, seolah turut mendoakan. Ah, akan tetapi hari ini aku benar-benar tak ingin pergi. Diriku hanya ingin menikmati hari dalam sudut kamar ini.
“Makasih ya teman-teman telah berbaik hati, menawarkan ini itu. Tapi maaf sekali, aku memang ndak ingin pergi. Kalian berangkat aja ndak papa. Biar aku di kamar aja.” Ucapku.