Tuban, 28 februari 2019.
Dingin, begitu erat memeluk malam. Angin yang berhembus sesuai tatanan alam. Perjalanan panjang kami terhenti pada sebuah makam. Gapura sederhana berwarna hijau menyambut kami. Tertera sebuah tulisan tepat pada bagian atas gapura “Makam Syekh Subakir” begitulah tulisan yang tertera. Kami sudah tidak lagi terbang, melainkan berjalan. Terdapat sebuah musholla berwarna putih sebelum kami benar-benar memasuki area pemakaman. Kami terus melanjutkan perjalanan. Area pemakaman mulai terlihat. Pohon besar menghiasi. Pepohonan ini berbentuk unik serta menjulang tinggi.
“Kang, pohon apa ini?” tanyaku.
“Aku kurang tahu ini pohon apa, Ra. Tapi pohon ini berasal dari akar yang sama, tiap-tiap akar yang hidup akan menumbuhkan batang yang menjulang. Hingga pada akhirnya jadilah pepohonan ini yang saling berhubungan.” Ucap Kang Mus.
“Kang, aku takut. Aku ndak pernah berziarah dalam keadaan seperti ini.” Ucapku.
“Jangan takut, Ra. Terus berdzikir dalam hati. Niat kita baik disini, sowan terhadap Syekh Subakir.” Ucap Kang Mus yang berusaha menenangkan hatiku.
Aku hanya mengangguk. Hatiku masih tetap gusar. Kakiku masih melangkah samar. Sebuah gapura yang teramat kecil menyambut kedatangan kami. Kami hanya bisa masuk dengan cara duduk sembari menggerakkan kaki bagian bawah dengan lutut sebagai tumpuan. Gapura ini mengantarkan kami untuk masuk ke area pesarean. Bebatuan kuno berwarna putih tampak mengelilingi area pesarean Syekh Subakir.
“Ra, tundukkan diri, rendahkan hati. Gapura kecil ini adalah pengingat untuk kita. Pengingat umat manusia agar selalu merasa hina sebab bergelimang dosa. Pengingat agar diri kita memiliki rasa hormat terhadap siapa saja.” Ucap Kang Mus.
“Nggeh.” Jawabku singkat.
Perlahan suasana mencekam dihiasi oleh ketenangan. Pesarean Syekh Subakir terdiri atas dua cungkup. Cungkup pesarean beliau dibatasi oleh pagar besi. Kami terus masuk ke dalam area cungkup. Dinginnya lantai keramik berwarna hijau seolah menembus ulu hati. Satu persatu perasaan damai mengisi relung hati. Kami melantunkan bacaan tahlil yang diakhiri dengan bacaan doa. Suasana ini membuat diriku merasakan syahdu, ketenangan yang merasuk kalbu. Diam-diam air mata bercucuran. Mengiringi bait-bait doa yang ku panjatkan. Kang Mus terlebih dahulu keluar dari cungkup pesarean. Kemudian diriku membuntuti Kang Mus yang berada di posisi depan.
“Kang, kamu sering ziarah kesini?” Tanyaku.
“Ndak, tapi karena kamu pertama kali ziarah dalam keadaan seperti ini aku memilih mengajakmu menziarahi Syekh Subakir.” Ucap Kang Mus.
“Kenapa kang? Kenapa kamu memilih mengajakku ziarah kesini?” Tanyaku kembali.
“Ra, Syekh Subakir adalah tokoh pertama yang membuka tanah Jawa. Tanah Jawa yang semula sulit menerima dakwah, berubah menjadi mudah. Kamu pernah dengar tentang pulau Jawa yang dipagari?” Ucap Kang Mus.
“Ndak, Kang.” Ucapku.
“Dulu, pulau Jawa dihuni oleh bangsa jin yang sangat kuat. Penduduk pulau Jawa pun masih memeluk kepercayaan lama dengan erat. Syekh Subakir datang ke pulau Jawa untuk berdakwah. Beliau membawa batu rajah yang bernama Kalacakra. Kemudian batu ini ditancapkan di pulau jawa, banyak orang yang menyebut jika batu ini ditanam di Gunung Tidar sebagai paku bumi pulau Jawa. Saat batu ini ditancapkan bangsa jin merasakan panas yang teramat sangat, beberapa sempat menyelamatkan diri ke laut, ada pula yang tidak kuat. Saat kericuhan ini terjadi, Sabda Palon yang disebut sebut sebagai danyang pulau jawa datang menemui Syekh Subakir. Peperangan diantara keduanya pecah selama empat puluh hari empat puluh malam. Pada akhirnya terbitlah sebuah perjanjian diantara keduanya, Syekh Subakir diperbolehkan menyebarkan agama islam dengan syarat membiarkan adat dan budaya tetap lestari adanya.” Jelas kang Mus panjang lebar yang dibubuhi senyuman pada akhir kalimatnya.
“Tapi kang, kenapa aku pernah dengar kalau pesarean Syekh Subakir ada di Gunung Tidar?” Tanyaku.
“Ada banyak versi sejarah, Ra. Ada yang bilang disinilah pesarean beliau, ada pula yang bilang pesarean beliau di Gunung Tidar, ada pula yang bilang kalau pesarean beliau di Blitar. Wallahu a’lam.” Ucap Kang Mus.
“Kenapa dalam persyaratannya harus melestarikan adat dan budaya? Apa sebab itu para wali menyebarkan agama dengan akulturasi budaya?” Tanyaku yang masih digelayuti rasa penasaran.
“Entahlah Ra. Mungkin dengan menjaga kearifan budaya, kelestarian adat yang ada, agama islam lebih mudah diterima.” Ucap Kang Mus.
“Mungkin begitu ya kang. Ya sudah, ayo kita pulang.” Ucapku.
“Tunggu dulu, Ra. Masih ada satu tempat yang hendak kita ziarahi. Energimu juga belum sepenuhnya pulih. Duduklah kembali.” Ucap kang mus.
“Kita mau pergi kemana kang?” Tanyaku.
“bagaimana perasaanmu sekarang, Ra? Sudah lebih tenang?” Ucap kang mus yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah, sudah lebih tenang. Rasa kecewa perlahan menghilang. Ketentraman meliputi seluruh ruang, terimakasih ya, Kang.” Ucapku.
“Alhamdulillah, Ra.” Ucap kang mus.
“Kang, boleh aku cerita?” Tanyaku.
“Tentu.” Ucap Kang Mus.