Tulungagung, 21 maret 2019.
Angin berembus pelan. Sesekali terdengar gemersik dedaunan. Perjalanan panjang telah kami lalui. Tempat ini tak asing lagi. Terngiang kembali bahwa kakek pernah mengajakku berziarah ke tempat ini. Pemakaman srigading, tempat Syekh Basyarudin dimakamkan. Beberapa anak tangga kami tapaki. Kang Mus tak melihat ke arahku sama sekali. Diriku bergidik ngeri. Pesarean Syekh Basyarudin tidak bercungkup, hanya dikelilingi pagar besi. Kami duduk pada tempat yang biasa digunakan peziarah. Sederhana, tetapi menenangkan jiwa. Kang Mus Nampak khusyu’ berdzikir seorang diri. Ku putuskan untuk berdzikir sendiri, agar kang mus tak terganggu. Suara aliran air sungai memecah keheningan, menambah kesyahduan. Rerimbunan bambu menghiasi tepi sungai. Kakek bilang, dulu Syekh Basyarudin berdzikir, bermujahadah di atas pohon di tepi sungai. Sebab jika beliau tertidur akan terjatuh kedalam air, kemudian bangun kembali. Kisah beliau yang tak terlupakan dalam kenangan masa kecilku adalah kisah ketika beliau mendekorasi sebuah pernikahan dengan air mengalir beserta ikan didalamnya. Tamu undangan yang datang terkesima melihat pemandangan tak biasa tersebut.
Kang Mus telah berdiri. Sepertinya ia bersiap untuk beranjak pergi. Kang Mus melihatku. Namun, tak sedikitpun ia menyimpulkan senyuman, melontarkan sapaan, ataupun mengajukan pertanyaan. Ia hanya terdiam sebelum akhirnya berjalan meninggalkan area pemakaman.
“Kang…” Ucapku.
“Kang, kamu mau kemana?” Ucapku kembali sebab tak mendapat jawaban.
“Kang, kamu mau pergi lagi? Kamu kenapa sih, kang?” Tanyaku.
Ucapanku sama sekali tak mendapat tanggapan. Kang mus justru terlebih dahulu meninggalkan pesarean. Entah kemana lagi ia akan pergi. Diriku mencoba untuk kembali mengikuti. Aku tak tahu seberapa jauh jarak yang akan ku tempuh kali ini. Aku sudah tak peduli. Beragam pertanyaan berkelindan dalam kepalaku. Kang Mus tetap diam membisu. Perjalanan kali ini mulai menerbitkan pilu.
***
Grobogan, 21 Maret 2019.