Institut agama islam jombang, 23 maret 2019.
Sasmitaning ngaurip puniki.
Apan ewuh yen ora weruha.
Tan jumeneng ing uripe.
Akeh kang ngaku aku.
Pangrasane sampun udani.
Tur durung wruh ing rasa.
Rasa kang satuhu.
Rasaning rasa punika.
Upayanen drapun sampurna ugi.
Ing kauripan ira.
Isyarat dalam kehidupan ini. Tidak mungkin kau pahami jika kau tak mengetahuinya. Tak akan ada ketenangan dalam hidupnya. Banyak yang mengaku. Dirinya sudah memahami isyarat kehidupan. Padahal belum mengolah rasa. Atas rasa yang sebenarnya. Rasa dari rasa itu juga. Carilah hingga sempurna. Didalam hidupnya.
Kehidupan terus mengalami perputaran. Sulur sulurnya memercikkan isyarat tak beraturan. Tak semua jiwa memahami isyarat yang bertaburan. Begitu pula diriku yang seringkali mengartikan ujian kehidupan sebagai sudut kesengsaraan. Akan tetapi sesungguhnya tuhan bermaksud meninggikan derajat segenap insan melalui ujian. Seberapa kokoh benteng pertahanan kesabaran. Seberapa teguh lapisan iman. Hingga masing-masing diri mampu melalui lika liku kehidupan.
Anganku terus melayang ke arah berlainan. Memutar memori yang hampir menjadi kepingan. Kejadian semalam tak dapat begitu saja dilupakan. Nanar masih mencabik hati yang dipenuhi pertanyaan. Apakah benar kang mus bukan manusia? Jika ia bukan manusia, mengapa sikapnya demikian? Mengapa ucapannya selalu dibubuhi senyuman? Dari bangsa manakah dirinya dilahirkan? Apakah ia golongan jin? Atau malah sebangsa setan? Atau mungkin ia malaikat yang menuntunku mengeja kehidupan? Ah, diriku tak kunjung mendapat jawaban.
“Ra, kenapa Rifki ndak kunjung datang ya ?” ucap Echa dengan penuh kegelisahan.
“kita tunggu aja dulu ya. Bentar lagi mungkin Rifki datang. Kamu udah bilang Rifki kalau kita mau ketemu kan?” tanyaku.
“udah, Ra. Tapi, Rifki belum juga datang. Aku khawatir kalau Tata keburu datang juga. Nanti jadinya salah faham.” Ucap echa yang semakin gusar.
Echa masih larut dalam kegelisahan. Lain halnya dengan diriku yang hanyut dalam beragam pertanyaan. Pertanyaan yang timbul dengan sendiri, tanpa permisi. Belum juga ku ketahui kapan kami akan bertemu kembali. Belum juga ku ketahui kapan pertanyaanku akan terjawab dengan rinci. Akankah kang mus memilih pergi? Sudahlah, aku tak tahu lagi harus ku apakan pertanyaan yang terus menyembul tanpa henti.
“Echa, maaf membuatmu menunggu” ucap seorang lelaki yang tak lain adalah Rifki.
“iya, gak masalah kok. Ada yang mau aku bicarakan, Rif.” Ucap echa.
“Apa ?” tanya rifki.
“eh, bentar dulu ya. Aku kelupaan. Nanti aku balik lagi.” Ucap rifki sembari berlari menuju kamar mandi.
Rifki menjemput seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi lelaki. Ia menuntun seorang lelaki yang terus berjalan sembari menunduk. Mereka berjalan beriringan secara perlahan. Entah mengapa kurasakan sebuah ketenangan. Ketenangan yang sekejap meneduhkan hati yang terus dicecar pertanyaan.
“Echa, Soraya. Kenalkan ini temanku Musthofa.” Ucap Rifki.