24 Maret 2019
Bumi senantiasa berputar pada porosnya. Masing-masing diri menata ruang Dunia. Entah nelayan, petani, siswa, hingga pejabat negara. Proporsi kehidupan yang mereka punya tak pernah sama. Ah, aku hampir lupa. Bukan hanya manusia yang mengemban tugas dalam kehidupan fana. Masih ada makhluk lainnya. Tumbuhan misalnya. Mereka mengajarkan makna tersirat dalam setiap sulurnya. Pohon jati yang harus ikhlas meranggas. Bukan berarti ia tak menyayangi setiap lembar daun yang ada. Akan tetapi, ia menyadari bahwa dibutuhkan pengorbanan untuk mencapai tujuan. Harus ada yang ditanggalkan untuk bertahan. Meluruhkan tiap-tiap daun yang tak mampu menahan terik mentari serupa sengatan. Satu persatu daun berjatuhan, memeluk masing-masing kenangan. Sama halnya dengan diriku. Kini dalam sudut kebimbangan. Harus bertahan dengan meluruhkan kenangan atau terdiam sembari memeluk erat kisah yang telah bertaburan.
“Ra, aku mau cerita boleh?” Tanya Echa.
“Ya boleh dong. Tapi di depan kamar aja ya, Cha. Di depan meja setrika. Aku mau setrika sekalian soalnya udah sampai antrianku nih. Gimana? Gak papa kan?” Tanyaku kembali pada Echa dengan tangan penuh pakaian yang hampir menutupi wajahku.
“Eh, iya gak papa, Ra. Lagian aku juga antri setrika habis kamu kan? Jadi bisa sekalian sambil nungguin antrian setrika sambil cerita juga.” Ucap Echa.
Echa mengambil beberapa pakaian yang digantungkan pada gantungan pakaian yang tersedia pada masing-masing kamar. Kami mengambil pakaian dengan tongkat panjang yang terbuat dari besi maupun kayu. Kami biasa menyebut tongkat itu dengan sebutan seteng. Diriku terlebih dahulu melangkahkan kaki menuju bagian depan kamar.
“Mau cerita apa, Cha?” Tanyaku.
“Tentang Rifki, Ra. Aku udah bicara baik-baik sama Rifki. Dia mau ngertiin keadaan aku yang saat ini. Dia juga udah mau menjauh dari aku. Aku juga udah minta maaf kemarin. Aku bener-bener gak tahu kalau dia cowoknya Tata. Aku udah berusaha melepas dia semampuku. Tapi sakit dan rindu bercampur jadi satu. Sakit yang semakin ndak mampu ku bendung dengan tanganku. Rindu yang semakin menggebu. Aku jadi ngerasa serba salah, Ra. sebenernya yang aku lakuin kemarin udah bener gak sih? Kenapa aku semakin merasa nanar, serba salah gini, Ra?” ucap Echa panjang lebar. Segala keluh kesahnya menguar.
“Cha, rasa seperti itu wajar kalau masih terus menguar. Kamu memang masih punya rasa cinta yang berpendar. Karena itu, maklum jika terasa nanar. Kamu sudah benar, Cha. Aku pecaya itu. Semua pilihan pasti punya resiko, cha. Dengan mengambil pilihan ini kamu juga berarti sudah siap dengan setiap konsekuensinya.” Ucapku.
Echa perlahan menitihkan air mata. Menumpahkan segala kepediahanya melalui bulir yang mengalir begitu saja. Echa tak pernah berubah. Hatinya teramat mudah tersentuh. Tetesan air matanya membasahi permukaan pakaian yang ia bawa.
“makasih ya, Ra. kamu selalu bisa menentramkan hatiku.” Ucap echa sembari memelukku.
“iya sama-sama. Eh, udah dong, Cha. Nanti tanganku luka kena setrika.” Ucapku yang mulai kesulitan mengendalikan setrika yang ku bawa.
“Eh, iya. Maaf ya, Ra. sampai lupa aku kalo kamu lagi setrika baju. Yah, bajuku basah jadinya, Ra. aku gak jadi setrika deh.” Ucap Echa sembari menyeringaikan sebuah tawa.
“iya..iya. gitu dong, Cha. Kan seneng liatnya kalau udah bisa senyum lagi.” Ucapku.
“Hehe, iya Ra. Eh, aku jadi inget kalau mau nanya sesuatu.” Ucap Echa.
“Apa, Cha?” tanyaku.
“Kamu kemarin nunggu siapa? Kok, kamu masih ada di lantai satu dan belum ke kelas sampai aku selesai ngobrol sama Rifki. Ada yang lagi kamu tungguin atau kamu temui?” Tanya Echa.
“Lha, gitu kok masih dipertanyakan sih, Cha. Orang udah jelas aku nungguin kamu lah. Gak enak juga kalau nungguin kamu ngobrol sama Rifki. Takut ngeganggu, takut jadi obat nyamuk juga. Hehe.” Ucapku menjawab pertanyaan Echa sekenanya.
“Ehehe, iya juga sih, Ra. Ya udah, aku ke kamar dulu ya. Mau gantungin baju ini, udah basah lagi sih. Terimakasih banyak ya, Ra.” ucap Echa.
“Oke, oke. Sama-sama, Cha.” Ucapku sembari menyungging seutas senyuman.
Ah, aku benci seperti ini. Harus menutup rapat-rapat kejadian yang ku alami seorang diri. Maaf, Cha. Aku harus berbohong, menyembunyikan perihal kang mus dari hadapanmu. Aku masih ingin menyimpan perihal kang mus seorang diri. Aku masih ingin membalut kenangan tentang kang mus dengan rapi. Meski mulai saat ini kang mus harus ku jauhi atas permintaanya sendiri.
***
Jombang, 3 januari 2020.
“Ra, aku gak isok turu iki. Awakmu kancani aku melekan ya.”[1] Ucap akshita.
“Iya, sit. Aku juga belum ngantuk kok.” Ucapku.
“Eh, aku juga masih belum bisa tidur ini.” Ucap ruqoyyah.
“Kok, ndungaren awak dewe podo gak isok turu ngene. Aku duwe kopi karo banyu panas nang termos ijikan tak gawekne kopi ya.”[2] Ucap akshita.
“Makasih ya, sit.” Ucapku.
“Terimakasih banyak sit. Kamu mau repot-repot buat kita.” Ucap Ruqoyyah.
“aduh, biasa ae kok Ruqoyyah. Sungkan malahan ngene iki aku.”[3] Ucap akshita.
“Echa kemana ya, kok gak ada di kamar? Apa dia ngerjain tugas di kantor?” ucap Ruqoyyah.
“ndak, Echa tadi mau ke kamar mandi katanya.” Ucapku.
“assalamualaikum. Lho, kok ijik podo melek tho?”[4] tanya Echa yang baru saja kembali dari kamar mandi.