sora

Leviosa S
Chapter #11

bagian 10

Institut agama islam Jombang, 8 januari 2020.

Hangatnya mentari kembali menyusupi diri. Perlahan ia mulai bergerak meninggi. Sebagai sebuah pertanda, sudah waktunya memulai hari. Embun membasahi setiap lembar dedaunan. Diam-diam embun menguap bersama hangatnya cahaya yang menerpa. Ah, rutinitas alam pagi yang selalu membuatku berulang kali jatuh cinta.

“Cha, hari ini prodi ilmu hadits kelasnya dimana ?” tanyaku.

“ini hari rabu, ya. Ilmu hadits ada dua mata kuliah di lantai tiga.” Ucap echa.

“ya udah, kalau gitu aku langsung ke lantai tiga, ya. Bye, cha. Aku duluan.” Ucapku sembari mengubah kecepatan kaki. Kaki yang semula berjalan ku tambahkan kecepatan yang menjadikannya berlari. Satu persatu anak tangga ku lewati. Hingga pada akhirnya, tepat pada lantai tiga ku pijakkan kaki.

“Mbak, mau nanya. Ilmu hadits di ruang sebelah mana ya ?” tanyaku terhadap seorang perempuan berkerudung hitam yang sedang berdiri memainkan ponsel di dekat tangga penghubung lantai tiga.

“oh, ilmu hadits di ruang 27 mbak. sebelah timur paling ujung.” Ucap wanita itu sembari menunjukkan arah menuju ruang tersebut.

“baik, terimakasih ya mbak.” ucapku.

Segera kulangkahkan kaki menyusuri lorong kelas. Menuju ujung paling timur dari lantai ini. Hingga pada akhirnya tepat di ambang pintu ruang 27 ku pijakkan kaki. Kebetulan, rifki adalah orang yang pertama ku temui di ruang ini. Kalau rifki telah datang, besar kemungkinan kang mus juga sudah datang.

“rifki, musthofa sudah datang kan ?” tanyaku.

“eh, sora. Kamu kok bisa sampai sini ? kelas kamu di lantai satu, kan ?” tanya rifki.

“iya, rif. Tapi lagi ada kepentingan ini.” Ucapku.

Ku langkahkan kaki memasuki ruangan. Degup jantung terus terpacu. Semakin lama semakin kencang layaknya las ang perang. Mataku menelisik seluruh penjuru ruangan. Kang mus duduk tepat tiga bangku dari ambang pintu, tepat di bagian depan kelas.

“kang, ada yang ingin ku bicarakan. Bisakah kita bicara sebentar ?” tanyaku.

“Sora, bagaimana bisa kamu sampai kesini ?” tanya kang mus.

“iya, kang. Maaf, ada yang perlu kita bicarakan.” Ucapku.

“duduklah, Ra. aku tahu kamu masih berdiri. Ceritakan apa yang membawamu kembali kepadaku setelah beberapa purnama kita tak bertemu.” Ucap kang mus.

“baik, kang. Terimakasih.” Ucapku sembari membetulkan posisi duduk di samping kang mus.

“jadi begini, kang. Maaf aku cerita perihal mimpi lagi. Setelah mengalami mimpi itu, entah mengapa diriku teramat ingin menceritakannya padamu. Dua  malam lalu aku mimpi. Mimpi tentang jebolnya sebuah bendungan. Bendungan itu bernama bendung glapan, kang. Akibatnya desa sekitar terendam banjir. Lalu, ada seorang lelaki tua yang minta tolong diantarkan ke pengungsian. Dia membopong seorang wanita tua juga. Wanita itu ku bopong karena si bapak ini tampak kelelahan. Saat si bapak sholat maghrib, wanita ini seperti sulit bernafas, denyut nadinya hilang, tak dapat ditemukan.” Ucapku sembari mengingat kembali mimpi yang terjadi dua hari yang lalu.

“bendung glapan ? bendung glapan, di grobogan maksud kamu?” tanya kang mus dengan suara yang mencerminkan nada kekhawatiran. Entah mengapa, diriku merasakan bahwa kang mus juga larut dalam kekhawatiran.

“iya, kang.” Ucapku.

“aku khawatir, kalau ini menjadi kenyataan. Karena mimpiku sebelumnya juga menjadi kenyataan. Aku takut, kang. Khawatir juga.” Ucapku sembari berharap jika respon baik yang diberikan oleh kang mus terhadapku.

“Ra, kamu bisa naik motor ?” tanya kang mus.

“bisa, kang. Kenapa kamu tiba-tiba nanya soal motor ?” tanyaku.

“tunggu.” Ucap kang mus sembari berpindah posisi. Kang mus yang semula duduk kemudia berdiri. Ia beranjak mendatangi rifki yang masih berdiri di ambang pintu.

“rif, aku pinjam motormu, ya.” Ucap kang mus terhadap rifki yang lamat-lamat terdengar di telingaku.

“oh, iya. Ini kuncinya. Motornya di depan kantor pondok. Lho..lho..lho, sebentar. Kamu mau kemana ? sama siapa ?” ucap rifki.

“aku mau pergi dulu sementara waktu. Kalau naik kendaraan umum takut gak keburu. Biar Sora yang boncengin nanti.” Ucap kang mus yang lamat-lamat terdengar di telingaku. Batinku masih terus bertanya. Sebenarnya apa yang hendak kang mus lakukan?

“oh, oke.” Ucap rifki.

“Sora.” Seru rifki terhadapku.

“ini kunci motornya. Motorku matic warna merah. Aku las a di depan kantor pondok putra. Kalau pagi sepi pondok putra, soalnya sekolah semua. Kamu langsung ambil aja bawa kesini, ya. Oh iya, ini STNK nya. Kamu punya SIM kan ?” ucap rifki.

“iya, rif.” Ucapku.

“eh, tapi sebentar, kang. Sebenarnya kita mau kemana ini ?” tanyaku.

“Grobogan.” Ucap kang mus.

“grobogan ? s..sekarang, kang?” tanyaku yang masih terkejut.

“iya.” Jawab kang mus singkat.

***

Perasaan takut, senang, dan seakan tak percaya berhamburan. Bagaimana tidak ? untuk pertama kalinya pergi jauh dalam kehidupan nyata hanya berdua dengan seorang lelaki. Tanpa izin pesantren, melanggar peraturan pesantren. Akan tetapi takut pula apabila mimpi yang ku alami benar-benar menjadi nyata. Ah, setiap pilihan pasti punya resiko. Aku telah memilih jalan ini, dengan demikian mau tak mau harus menerima segala konsekuensi.

“kang, kita lewat jalur mana ya ? lewat kertosono, lewat bojonegoro atau lewat tuban ?” tanyaku.

“lewat jalur pantura saja, ra. lewat tuban.” Ucap kang mus.

Perjalanan masih membentangkan jarak. Jarak cukup jauh yang harus kami tempuh saat ini. las an, jika mimpiku kali ini benar adanya. Ku harap diriku mampu menolong mereka yang tertimpa bencana. Jalan ramai, jalanan sepi, hingga hutan kami susuri. Pada akhirnya, laut berada di sisi kami. Teramat tenang rasa hati. Debur ombak seolah turut membasahi hati. Menebus lelah yang sebelumnya menjerang diri ini.

“Ra, berhenti dulu.” Ucap kang mus yang sedari tadi terdiam selama perjalanan.

“kenapa, kang ? masih belum sampai grobogan ini.” Ucapku.

“cari tempat berteduh, Ra. sebentar lagi hujan.” Ucap kang mus.

“tapi, ini masih terang kang.” Ucapku membantah.

“anginnya sudah terasa, ra. berteduhlah sebelum kehujanan. Aku gak ingin kamu kehujanan apalagi sampai sakit.” Ucap kang mus.

Sejenak, rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Benar memang, perasaan kang mus lebih tajam. Kami memutuskan untuk berteduh pada sebuah warung kecil. Sejenak berteduh sembari melepas penat.

Lihat selengkapnya