Sorry, I Love You

Rosyidina Afifah
Chapter #2

02. Rumah

Agenda yang direncanakan berlangsung selama dua jam berlalu begitu saja. Menurutku, penyampaian materi oleh Kak Raka sangat rapi dan mudah dipahami hingga waktu bergulir tanpa terasa.

Setelah mengadakan tanya jawab yang cukup aktif, ucapan terima kasih pun disampaikan oleh para peserta onboarding. Kak Raka menutup sesi dengan memberikan salam penutup, mempersilahkan para peserta meninggalkan ruang online itu, termasuk aku.

Setidaknya itu yang kupikirkan sebelum seseorang memanggilku dari ujung sambungan.

“Khafa, sebentar,” interupsi Kak Raka.

Kursorku yang semula berada di atas tombol merah, kini beralih mengaktifkan mikrofon laptop. “Ya, Kak?”

Aku bisa melihat ada ekspresi sungkan di wajahnya. “Kamu gak marah soal yang tadi di awal kan? Atau kamu ngerasa gak nyaman, mungkin?”

Dahiku berkerut mendengarnya. Tak paham.

“Tadi gara-gara aku negur kamu, kamunya jadi dijahilin sama yang lain.”

Aku bisa merasakan wajahku kembali menghangat. Rasa malu yang terlupakan setelah dua jam lamanya, kini kembali bersamaan dengan kulitku yang meremang. “Gak kok, Kak. Aman.

“Saya paham itu cuma candaan teman-teman aja,” timpalku seadanya, sebisa mungkin terdengar santai walau sebenarnya mati-matian menahan keinginan untuk berteriak.

Senyuman terlukis dibibirnya. “Syukur deh kalau gitu,” ucap Kak Raka. “Anyway, bahasanya gak perlu terlalu formal kalau di luar forum. Santai aja kalau ngobrol sama rekan kerja. Terus … apa lagi ya?”

Aku bisa melihat Kak Raka melempar pandang ke arah lain—sepertinya ada seseorang yang memanggilnya. Selang beberapa saat, senyuman di bibirnya lenyap. Matanya mendadak melebar, lantas satu tepukan jidat dilakukannya. 

Apa ada sesuatu yang salah?

“Mungkin itu dulu. Sekali lagi, selamat ya, Khafa. See you soon!

See—” Belum sempat menimpali, Kak Raka sudah meninggalkan room tepat setelah menyudahi kalimatnya. Dengan demikian, laman pertemuan barusan ditutup secara otomatis. Mataku mengerjap, mencoba memproses apa yang terjadi. “Kayaknya lagi buru-buru,” gumamku.

Menyudahi pemikiran soal perkataan Kak Raka, mataku lantas melirik jam yang ada di sudut bawah layar. Ternyata sudah jam dua belas siang—mungkin itu juga yang membuat Kak Raka buru-buru.

Aku menghela napas. Untukku—dan kami para pegawai baru, agenda hari ini belum selesai. Infonya, aku harus menghubungi senior yang berada di satu divisi dengan penempatanku guna mendapatkan perkenalan tambahan setelah jam makan siang—yang kurang lebih berakhir satu jam lagi.

Yah, itu waktu yang cukup untuk istirahat sejenak selagi mempersiapkan diri sih.

Tanganku terbentang ke sisi-sisi tubuh. Rasa kaku seketika melanda. Saat aku berdiri dari kursi, derik persendianku yang baru berumur seperempat abad langsung menyambut dengan hebohnya. Bahkan suara-suara ini lebih kencang dari letupan popcorn yang kubuat minggu lalu.

"Aduh, dasar badan jompo,” dengusku.

Lihat selengkapnya