Senyuman tipis terlukis di bibir Bunda. Kini kedua matanya beralih pada piring dan kembali menyendok nasi-nasi itu. “Udah berapa kali kamu tanya itu.”
Aku terdiam. Teringat akan jawaban-jawaban yang sebelumnya diberikan Bunda.
“Jawaban Bunda gak berubah, Khafa. Gak papa. Toh adekmu tinggal fokus skripsi. Minggu depan udah gak kost lagi.”
Sebuah ide terlintas di kepalaku. “Apa Khafa sekalian nunggu seminggu?” tawarku.
Lagi-lagi Bunda menggeleng. “Gak perlu. Kamu belum nyari tempat tinggal di sana, belum adaptasi juga. Kalo mepet-mepet, nanti kamunya yang kelimpungan.”
“Tapi—”
“Khafa,” potong Bunda. Kali ini pandangan kami bertemu. Gores keraguan di wajah Bunda saat topik pembicaraan ini terangkat sudah hilang, hanya ada senyum tipis penuh keyakinan di sana. “Bunda berterima kasih, kamu sudah memikirkan Bunda sampai sejauh ini.
“Bunda juga berterima kasih, kamu bersedia nemenin Bunda waktu Bunda drop sampai setahun lebih. Bunda juga berterima kasih, kamu selalu ada di sisi Bunda waktu Ayah ….” Bunda memotong kalimatnya, suaranya bergetar di ujung kalimat.
Aku tak berani merespon apa pun. Napasku turut tersekat di tenggorokan kala melihat kedua mata Bunda mulai berkaca-kaca. Kedua tanganku yang tak lagi sibuk dengan makan siang favoritku, kini bersembunyi di bawah meja, mengepal kuat di atas pangkuan.
Setelah beberapa tarikan napas, Bunda kembali melanjutkan, “Pokoknya, Bunda bersyukur bisa dititipkan anak yang care seperti kamu, yang bertanggung jawab seperti kakakmu, yang nakal tapi ngangenin kayak adekmu.
“Bunda senang, senang sekali melihat kalian begitu peduli. Tapi, Bunda juga pingin kalian mengejar apa yang mau kalian kejar.
“Bunda rasa, Bunda sudah terlalu lama nahan kamu, Khafa. Makanya Bunda berusaha keras buat bisa pulih, biar kamu bisa fokus melakukan apa yang kamu mau..”
Sesuatu yang basah tiba-tiba mengalir di pipiku. Buru-buru aku menyekanya sebelum makin heboh. Namun apa daya, bukannya berhenti, justru banyak tetesan lain yang berlomba-lomba menuruni wajahku.
Aku tidak memiliki kalimat apa pun untuk merespons perkataan Bunda barusan. Perasaan di hatiku terlalu campur aduk untuk melakukannya.
Alhasil, aku mengambil satu sendok terakhir dari piring, dan melahapnya sambil sesenggukan. “Sambelnya pedes,” dustaku di tengah kunyahan.
Kekehan lolos dari bibir Bunda. “Ayah bisa bangun lagi kalau tahu kamu bisa makan sambel, saking kagetnya.”
“Malah asik, dong. Jadi bisa ketemu lagi.”
Berkat celetukan barusan, suasana menjadi lebih cair. Kami berdua melanjutkan makan sambil sesekali bercerita tentang hal-hal ringan. Seperti: kucing hitam yang selalu mampir di teras rumah, tawon yang suka sekali mengejarku belakangan ini, sampai semaian tanaman cabe milik Bunda yang habis diserang tikus.
“Kalau gitu, suruh kucingnya buat kejar tikus aja!”
“Bunda pernah lihat, malah dianya yang lari pas ada tikus muncul.”
Kami pun selesai dengan makanan masing-masing. Aku menumpuk piring-piring kosong dan membawanya ke tempat cuci piring. Sementara Bunda merapikan makanan yang tersisa dan menutupnya dengan tudung saji.
Aku menyalakan kran air, seketika rasa sejuk menyadarkanku bahwa ada satu topik lagi yang belum kusampaikan. “Oiya, di kantor yang ini juga bisa ajuin kerja remote, Bun. Via online gitu.”
Telingaku mendengar pintu kulkas terbuka. “Terus?” tanya Bunda sambil menata sesuatu yang ada di dalamnya.
“Katanya itu tergantung kinerja sih. Sejauh ini, paling cepet satu tahun masa kerja baru bisa remote.”
“Bunda doakan aja yang terbaik buat kamu. Yang penting, Khafa gak perlu ngerasa berat sama yang ada di sini.”
Aku mengangguk singkat. Gumaman ‘iya’-ku teredam oleh denting piring yang kususun pada rak cuci piring.
“Jangan lupa pulang bawa jodoh ya.”
Hampir saja piring yang sedang kupindahkan terjun bebas ke lantai. Hampir.