Ada satu nama yang terlintas dalam ingatan, tapi segera kutepis di detik berikutnya. Mungkin saja suara perempuan ini hanya sekadar mirip. Rasa-rasanya tidak mungkin aku bertemu dengannya lagi.
Sudah berapa tahun sejak aku hilang kontak dengan anak itu?
“Ya ampun! Aku sempat mikir, ini bener Khafa temen aku atau bukan. Eh, ternyata beneran dong!”
Kerutan di keningku semakin dalam. “Anu … siapa ya?” bibirku bergerak canggung.
“Ih! Masa lupa sih? Emang wajahku berubah bange—duh, kocak! Baru ngeh kalo lagi off-cam. Wait wait.”
Sedetik kemudian, muncullah wajah dari ‘The A’ pada layar. Mataku sedikit menyipit, mencoba menggali memori sedalam mungkin. Wajah bulat, rambut cokelat yang digelung ke atas, mata berbinar, hidung mancung, serta senyuman lebar dari ujung ke ujung.
Nihil. Aku tidak mengenalinya. Tapi kuakui, dia sangat cantik!
Menyadari kebingunganku, The A menyibakkan sedikit poni yang menutupi ujung alis kirinya. Walaupun kerkendala kualitas, aku bisa melihat ada garis diagonal dengan panjang sekitar satu senti yang mengkilap di sana. Seperti … bekas jahitan—
Sontak aku memekik tertahan. “Tiana?!”
“Aaa! Akhirnya inget juga!”
Astaga! Ternyata dugaanku di awal benar!
“Pantesan! Aku ngerasa suaramu familier banget, tapi kok visualnya beda 180 derajat sama yang ada dipikiranku?”
Bagaimana tidak, sosok Tiana yang ada dalam kenanganku adalah perempuan tomboy yang selalu memotong rambutnya sangat pendek hingga hampir menyerupai laki-laki. Tak hanya rambut. Gaya berpakaian, kelakuan, sampai cara bicaranya pun membuat banyak orang bertanya-tanya ‘apa dia benar-benar anak perempuan?’
Sekarang, lihat yang ada di hadapanku! Seorang wanita cantik yang memancarkan karisma hanya dengan presensinya saja. Tutur katanya pun lebih halus dan minim umpatan. Seakan-akan menjadi orang yang berbeda!
Jika dia tidak menunjukkan bekas luka itu, mungkin aku tidak akan berani menebak namanya.
Tiana tertawa dengan sebelah tangan menutupi depan mulutnya—padahal dulu dia akan tertawa lepas tak terkendali jika menemukan sesuatu yang lucu. “Rasanya masih gak percaya, lho! Kita terakhir ketemu kapan? SMP?”
“Waktu ambil ijazah SMP,” tambahku, “habis itu, kamu hilang entah ke mana. Waktu aku tanya ke temen-temen yang lain, mereka justru balik bilang ‘kan kamu yang lebih deket sama dia!’. Padahal, aku juga gak bakalan tanya kalau tau duluan.”
“Iya juga ya. Waktu itu mendadak banget.” Mata riangnya kini dihiasi sorot bersalah.
Kedua bibirku terkatup rapat. Rasa menyesal seketika merambatiku, terlebih ketika aku melihat senyuman Tiana meredup. Napasku tersekat. Aku menyesal. Walaupun memiliki banyak pertanyaan, seharusnya aku tidak menyerangnya seperti ini di pertemuan pertama setelah sekian lama.
Karena aku juga tidak tahu bagaimana kondisinya saat itu.
Tiana berdeham di ujung sambungan, lantas memperbaiki ekspresinya seperti semula. “BTW, kemarin daftar sini lewat jalur apa? Web? Referal?”
“Web, sih. Aku gak tau kalau ada opsi lain,” jawabku sedikit berat, masih merasa tak enak padanya.
“Ah, sayang banget!” pekikkan Tiana membuatku terkesiap. Dirinya yang semula kembali tampak. “Kalau kita bisa ketemu lebih awal, aku bisa kasih referal pas kamu daftar.”
Aku menelengkan kepala. “Memang … ada bedanya?”
“Ada! Kalau kamu daftar via referal dari aku, terus keterima, aku bisa dapet bonus! Kan lumayan!”
Seketika tawaku menyembur. Ah, tipikal seorang Tiana: tidak mudah tersinggung, selalu mencerahkan suasana, juga lemah terhadap uang jajan tambahan.
“Dasar,” ledekku dan dibalas bisikan ‘money is the best’ olehnya.
Tak lama setelahnya, muncul notifikasi chat baru. Bukan untukku, tapi secara general di grup besar. Aku langsung teringat kembali tujuan awal diadakannya pertemuan ini. “Eh, ini kita ngobrol biasa gak papa? Kan harusnya bahas lanjutan onboarding?”
“Iya juga sih. Tapi gapapa lah, masih ada waktu lumayan banyak,” timpalnya sambil melambai-lambaikan tangan dengan santai.
Aku melirik ke arah jam, sudah pukul setengah empat. “Emm, daripada nanti kena tegur, minta tolong dimulai sekarang aja ya, kakak senior.”
Tiana mendadak memeluk badannya sendiri dengan tangan kiri. “Aduh, geli sekali dipanggil begitu,” ucapnya selagi tangan kanan sibuk menggerak-gerakkan sesuatu—sepertinya mouse.
“Bentar, aku buka dulu materinya—eh tapi aslinya tadi aku mau nanya satu hal loh sebelum masuk mode profesional. Tapi kok lupa ya?”
Aku mengedipkan mata beberapa kali. “Bukan … hal yang penting …, mungkin?”
Tiana tampak termenung dengan pandangan ke arah langit-langit. “Memang bukan kerjaan sih. Tadi kepikirannya waktu baca CV kamu. Apa ya … kok lupa ….”
“Nanti kayaknya bakal inget-inget sendiri. Biasanya makin dicari makin ga ketemu.”
“Iya juga ya,” responsnya yang kembali fokus pada layar. “Oke, ketemu materinya! Kita mulai sekarang, yuk!”
***