Sorry, I Love You

Rosyidina Afifah
Chapter #5

05. Nama yang Kembali Terdengar

Derit kasur seketika menyambut kala aku menjatuhkan punggung di atasnya. Pandanganku menatap kosong ke arah langit-langit. Sebelah tanganku beristirahat di atas kening, berusaha menahan berjuta dugaan yang sedang berputar di dalamnya.

"Masa Adipati yang 'itu'?"

Hanya dengung lirih dari kipas angin berkecepatan rendah yang mengiringi bisikanku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kantuk tak kunjung menghampiriku.

Aku memejamkan mata, mencoba menata kembali potongan memori yang mencuat kala nama laki-laki itu terdengar setelah dua tahun lamanya.

Semua itu berawal saat usiaku masih 19 tahun.


***


Enam tahun yang lalu.

"Ayo semua, tolong baris yang rapi ya! Biar acaranya cepet dimulai!"

Suara senior yang membawa megafon bergema di tengah-tengah aula asrama kampus. Beberapa senior lain pun turut mengarahkan kami untuk mengatur jarak. Aku yang masih belum terbiasa dengan suasana ini hanya bisa bergerak kikuk mengikuti arahan. Kecanggungan makin terasa saat aku menyadari di sekelilingku hanya ada para laki-laki. Perempuan juga ada sih, tapi masih kalah jumlah dan mereka tersebar di antara sekian banyak orang.

Oh, iya. Saat ini, kami—para mahasiswa baru yang tergabung dalam satu fakultas, sedang memenuhi undangan dari para senior untuk hadir dalam sesi perkenalan sebelum masa orientasi dimulai. Dengar-dengar, kami diizinkan untuk meminjam aula asrama kampus saat masa libur semester dikarenakan jumlah kami tidak sebanyak fakultas lain. Hanya ada dua program studi dengan total mahasiswa yang tidak sampai 100 orang tiap angkatannya.

"Oke sip! Biar gak capek, silakan duduk dulu."

Serempak keseluruhan mahasiswa baru duduk dengan tenang di titik masing-masing, termasuk aku. Sesaat kemudian, para senior yang membantu mengatur barisan kini berlari untuk duduk berhadapan dengan kami dalam satu saf.

Suara kembali terdengar dari megafon. "Pertama-tama, saya ucapkan selamat datang bagi teman-teman yang saat ini sudah berganti gelar dari 'siswa' menjadi 'mahasiswa'."

Riuh tepuk tangan seketika memenuhi ruangan.

"Perkenalkan, saya Bayu dari tingkat dua, selaku ketua himpunan mahasiswa pada periode ini."

Kini sorakan penyambutan yang terdengar lebih kencang dibanding sebelumnya.

"Terima kasih, pada teman-teman yang sudah hadir memenuhi undangan dari kami selaku perwakilan dari kakak-kakak kalian di kampus. Lalu, seperti yang sudah disampaikan …."

Kak Bayu—sosok yang memegang megafon—menjelaskan tentang maksud dari dikumpulkannya kami tepat sehari sebelum hari orientasi mahasiswa. Tujuannya adalah agar kami sebagai mahasiswa baru mengetahui satu sama yang lain, sehingga keesokan harinya dapat mengenali seseorang yang bisa diandalkan andaikata terjadi sesuatu.

"Karena ‘tak kenal maka tak sayang’, sekarang kita mulai dulu perkenalannya. Dari … kakak paling ujung, silakan berdiri."

Semua kepala pun menoleh ke arah yang dimaksud. Kakak yang ditunjuk berdiri, lantas memulai perkenalan. Setelah itu, disambung oleh senior di sebelahnya sampai ke ujung barisan. Kemudian perkenalan dilanjut oleh mahasiswa baru di barisan terdepan lebih dahulu, lalu mengular menuju ke belakang.

Aku yang berada di penghujung barisan ke empat dari enam baris pun cukup santai menunggu giliran.

Setidaknya, itu yang kupikirkan sebelumnya.

Mataku melebar. Terkejut karena tiba-tiba saja muncul rasa sakit tak tertahankan menyerang perut bagian bawahku. “Aduh,” rintihku pelan.

Kenapa aku bisa terkena kram di saat seperti ini?

Sebelah tanganku bergerak untuk memberikan sedikit tekanan pada titik yang sakit, mencoba untuk mengurangi perih dari kramnya. Bukannya menghilang, perutku terasa makin dipelintir. Badanku mulai membungkuk menahan sakit.

Aku mengintip keadaan sekitar di tengah rintihan tertahan. Saat ini, perkenalan sudah sampai di awal barisan ketiga. Sekitar 25 anak lagi giliranku akan tiba. Yang berarti, itu tidak akan lama lagi.

Aku mencoba mengatur napas di tengah-tengah kepanikan internal. Tarik, embuskan. Tarik, embuskan. Kondisiku sebenarnya cukup buruk, tapi aku masih bisa merasakan beberapa tatapan khawatir dari beberapa arah, termasuk dari barisan senior.

Menarik dan mengembuskan napas terus kulakukan sambil memijat-mijat ringan bagian yang kram. Perlahan namun pasti, rasa perih itu mulai hilang, dan aku dapat duduk dengan normal kembali. Tatapan khawatir yang semula kuterima pun mencair dengan sendirinya.

"Akhirnya selesai," pikirku. Namun, kalimat itu harus kutarik kembali karena muncul masalah kedua.

Lihat selengkapnya