Sorry, I Love You

Rosyidina Afifah
Chapter #6

06. Nostalgia

Waktu berjalan begitu cepat.

Saat ini, aku sudah berada di dalam minibus menuju ibu kota. Mata yang sudah terbiasa dengan pemandangan kompleks perumahan sederhana di sebuah kota kecil, kini disambut hamparan sawah di sisi jalan tol—tentu bukan untuk waktu yang lama, mengingat semakin dekat dengan tujuan, semakin banyak pula gedung-gedung yang terlihat.

Aku menghela napas panjang. Aku agak tidak menyangka dua malam terlewati begitu saja. Bisa dibilang, ada rasa penyesalan saat aku berpamitan dengan bunda satu setengah jam yang lalu. Semacam … ingin menempel pada bunda lebih lama lagi.

"Tapi kalau aku bilang gitu, pasti Bunda ngomel lagi," gumamku nyaris tanpa suara. Aku masih sadar diri untuk tidak mengganggu penumpang lain, terutama mereka yang sudah tertidur.

Ponselku tiba-tiba bergetar. Nama Tiana pada aplikasi chat langsung menyapa kala aku memeriksanya.

The_A: udah sampe mana, Khaf?

Khafa: exit tol udah keliatan sih dari sini

The_A: gila! Udah deket berarti? Bentar ya, aku siap-siap dulu kalo gitu

The_A: tadi kesiangan, jadi belum mandi ;-⁠P

Khafa: joroq -_-) padahal udah hampir jam 11 -_-)

Indikator akun Tiana berubah menjadi offline tepat saat aku menekan tombol pesawat kertas pada layar. Aku mengedikkan bahu, sepertinya dia memang langsung berlari ke kamar mandi setelah mengirimiku pesan.

Mumpung masih membuka percakapanku dengan Tiana, jemariku memilih untuk menggeser layar hingga menemukan satu peta lokasi yang dikirimkannya. Saat memeriksa jarak tempuh, kedua mataku melebar karena durasi yang tertera hanya 15 menit saja.

Dua setengah jam diringkas menjadi satu jam empat lima menit.

Pantas saja Tiana terkejut.


***


"Makasih banyak, Pak!" ucapku sambil menerima dua buah koper jinjing yang disodorkan oleh pak sopir dari dalam bagasi.

Pria berkemeja kotak-kotak itu mengangguk sopan sambil berpamitan undur diri. Dia kembali menaiki minibus berwarna perak itu, lalu membawanya pergi melewati jalan pemukiman dengan gesit.

Menoleh ke sekitar, aku mendapati jalanan saat ini cukup lengang. Ada satu dua orang yang melintas, sisanya duduk-duduk menjaga kios dan barang dagangan.

Mungkin karena siang ini cukup terik, sehingga orang-orang memilih untuk menghabiskan akhir pekan di dalam rumah.

"Khafa!"

Sesosok wanita berkaos navy melambai ke arahku dari pagar putih yang terbuka di seberang jalan. Mataku mengenalinya. Dengan langkah semangat, aku melintasi jalan berpaving ini—dengan kedua koperku tentunya—lantas memeluknya erat. "Tiana! akhirnya ketemu!" ucapku, agak tertahan karena hidungku hanya mencapai tinggi pundaknya.

"Iya nih, akhirnya!" Tiana mengambil satu langkah mundur, memberikan jarak di antara kami. Kemudian kedua tangannya bergerak ke arah wajahku, dan—"Kamu masih imut aja nih!"—dia mencubit kedua pipiku tanpa ampun.

Untungnya tidak berlangsung terlalu lama. Tiana melepaskanku begitu ada satu orang lain meminta jalan agar bisa mengeluarkan motornya dari dalam pagar.

Walaupun sebentar, rasa panas yang tertinggal di kedua pipiku benar-benar nyata. “Seenggaknya cubitanmu lebih manusiawi ketimbang dulu.”

Lawan bicaraku hanya meringis, mungkin teringat dirinya yang dulu sempat dimarahi guru SMP kala mendapati pipiku yang nyaris memar karena terlalu kuat dicubit olehnya.

 “Bawaanmu ini aja?” tanya Tiana usai pengendara motor tadi pergi

Tanganku masih sibuk mengusap-usap wajah, mencoba meredakan bekas cubitan yang tersisa. “Iya, sisanya mau cari di toko-toko sini aja sih, biar gak ribet.”

“Oke!” Tiana tiba-tiba saja sudah membawa masuk kedua koperku. “Yuk, masuk dulu. Kita jalan jam tigaan aja ya. Panas banget kalau keliling sekarang.”

Aku mengangguk setuju. Tiana melangkah lebih dulu, tak membiarkanku mengambil alih koper yang sudah ada di tangannya. Pertarungan memperebutkan koper pun berlangsung sepanjang perjalanan menuju kamar Tiana. Melihat perbedaan fisik kami, terlihat jelas siapa yang menang.

“Udah, anak kecil diem aja. Nanti baru bantu bukain pintu.”

“... Kita seumuran loh.”

“Tapi kamu masih kelihatan kayak anak kecil, kok.”

“Kamunya aja yang ketinggian.”

“Ututu, anak kecilnya ngambek. Sini sini, mau dicubit lagi?”

Lihat selengkapnya