Sudah tiga bulan Ergi pacaran backstreet dengan Tryphosa, kakak kelasnya di sekolah. Awal pertemuan Ergi dan Tryphosa sungguh unik buat Ergi. Semua berawal dari suatu sore saat Ergi baru pulang ke rumah sehabis main basket bersama teman-temannya. Ergi sedang bersepeda dengan satu tangan memegangi payung ketika dia menangkap sosok yang berdiri di pinggir lapangan basket kompleks.
Gadis itu sendirian, kehujanan.
“Mbak!” Ergi menghampiri gadis yang kehujanan itu dengan sepedanya. “Mbak! Di sana ada warung, bisa neduh di sana!” Ergi menunjuk warung Mbok Darmi yang tidak jauh dari lapangan.
Si gadis menoleh. Saat itulah petir menyambar. Blar! Ergi hampir kehilangan kendali sepedanya.
“Nggak apa-apa, Dek! Makasih,” sahutnya. Badannya basah kuyup.
“Deket, kok, Mbak! Boleh neduh di sana, saya kenal sama yang punya.”
“Nggak usah, Dek, makasih. Saya lagi nunggu orang. Kasihan kalau dia nanti nggak lihat saya.”
Ini orang bodoh atau baik, sih? Mau-maunya kehujanan sampai basah kuyup sementara orang yang ditunggunya nggak dateng-dateng.
“Kalau gitu payungnya pakai aja, Mbak,” Ergi menyodorkan payungnya.
“Nggak usah, makasih. Udah telanjur basah.” Dia tersenyum.
Mendadak Ergi melihat sesuatu. Sebuah payung tergeletak di jalanan depan kakinya persis!
“Lha? Itu ada payung, kok, nggak dipakai?” tanyanya, menunjuk payung yang terbuka memayungi aspal.
“Iya, itu buat yang lain,” jawabnya.
Penasaran, Ergi turun dari sepedanya dan melongok. Apa sih, yang lagi dipayungi sampai-sampai lebih penting daripada manusia? Ternyata ada maket. Maket itu tetap kering bak raja di atas sebuah ransel yang sudah dikorbankan jadi basah lantaran dijadikan alas.
Ergi menunjuk maket itu dan menaikkan alis. Dia mengangguk-angguk.
“Oke. Saya duluan, ya.”
“Silakan, Dek. Hati-hati di jalan.”
Duile! Hati-hati di jalan. Kayak anak TK lagi main sepeda roda tiga, kali, ucap Ergi dalam hati. Maka, dia dan sepeda serta payungnya terus meluncur pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ergi makan, lalu mandi. Kemudian, dengan senyum semringah dia melangkahkan kaki ke ruang tamu untuk menyambut liburannya dengan bersantai nonton TV. Seketika terdengar suara gaduh. Dari mana lagi kalau bukan Tirzah, kakaknya? Suara cempreng itu tengah meminta tolong asisten rumah tangga di rumah untuk mengambilkan handuk.
“Berisik banget sih, lo, Tir?!” Ergi mengoceh sambil menghampiri Tirzah.
Jreng jreng! Betapa terkejutnya dia ketika melihat cewek di tepi lapangan basket tadi tahu-tahu berdiri di hadapan Ergi sambil menggigil. Sementara itu, muka Tirzah mengkeret penuh rasa nggak enak.
“Aduh, aduh sori banget, ya, Try? Soriii banget!” Tirzah memohon-mohon.
“Nggak apa-apa, lagi, Tir. Nyantai aja. Nggak usah minta maaf berkali-kali, lagi,” sahut si cewek sambil menggigil. Ia berusaha tertawa.
“Lho ... ternyata ....” Ergi dan si cewek saling beradu pandang.
“Ergi! Lo ke mana aja, sih? Buruan bikinin teh panas buat Tryphosa!” tanpa basa-basi Ergi langsung disuruh-suruh Tirzah.
“Lho ....” Si cewek ternyata juga melongo melihat Ergi.
“Lho ....” Ergi juga melongo, mengabaikan Tirzah.
“Lho ....”
Begitu saja terus saling “lho-lho”-an sampai tiga jam. Akhirnya, Tirzah yang mengakhiri “lho-lho”-an itu dengan bertanya, “Kenapa kalian berdua? Gi, buruan! Temen gue udah gemeteran habis kehujanan.”
“Ini temen lo?” tanya Ergi kepada Tirzah. “Tadi gue ketemu dia di jalan, kehujanan lagi nungguin seseorang. Katanya takut yang ditunggu nggak lihat. Jangan-jangan elo yang ditunggu?”
Gantian muka Tirzah dari jutek berubah jadi nggak enak hati.
“Elo dasar! Tengil banget, sih, janjian sama temen nggak dateng-dateng sampai temen lo basah kuyup!” Ergi memanfaatkan kesempatan itu untuk mengomeli Tirzah.
“Aduh ... gue, kan, udah minta maaf. Maaf banget, ya, Try, maaf!”
“Nggak apa-apa, Tir. Ya ampun, beneran nggak apa-apa. Gue juga sehat-sehat aja, kok, habis kehujanan.” Si cewek menepuk bahu Tirzah.
“Buset! Dingin amat tangan lo. Gi, buruan, dah!”
Ergi buru-buru ngacir ke dapur untuk membuatkan teman Tirzah itu segelas teh panas. Dia baik banget jadi orang, entah baik entah bodoh. Ergi sering mendengar orang bilang “Nggak apa-apa! Nggak apa-apa!” saat ada orang yang minta maaf sama mereka, tapi mukanya jutek macam banteng siap menyeruduk.
Akan tetapi, si cewek yang entah siapa namanya itu mukanya tulus. Senyumnya tulus pas dia bilang “Nggak apa-apa” ke kakak semata wayang Ergi yang kadang-kadang reseknya kelewatan itu.
“Ini, silakan.” Ergi kembali dari dapur dan menyodorkan teh kepada si cewek yang sudah berbalut handuk dan duduk di kursi meja makan.
“Makasih, ya.”
“Sama-sama. Nggg ... maketnya nggak basah, kan?”
“Kering, kok. Nggak basah sama sekali.”
Ergi mendelik ke arah Tirzah yang mukanya masih diliputi rasa bersalah.
“Oh, iya, Try. Ini adik gue, Ergi.”
Buru-buru Ergi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tangan perempuan itu memang dingin sekali. “Ergi.”
“Tryphosa.”
“Hah?”
Gantian Tirzah yang mendelik. Ergi juga malu, sih. Orang nyebut namanya, kok, dia malah nyahut “hah”?! Tapi, asli, dia nggak nangkep namanya!
Dengan muka kikuk, si cewek mengulang namanya dengan lebih lambat dan jelas. “Tryphosa.”
“Tryphosa. Ergi. Gue Ergi maksudnya.”
“Iya. Tadi lo udah bilang.”
“Oh, oke. Iya.”
Ergi mengangguk-angguk dan dia akui matanya tidak lepas dari wajah Tryphosa, mungkin karena namanya aneh. Sementara itu, Tirzah di sebelah Ergi senyum-senyum penuh misteri. Ergi nggak mengerti apa yang dipikirkan Tirzah.
Alasan Ergi diam-diam ngelihatin Tryphosa adalah karena dia masih terheran-heran ada orang Indonesia punya nama Tryphosa. Kalaupun namanya Ayu, Adjeng, atau Adinda, Ergi juga nggak bakal ngelihatin sampai segitunya, kali.
“Try, udah angetan?”
“Lumayan.”
“Lo mandi dulu gih, biar seger, terus baru kita bikin tugas sama-sama. Lo pakai baju gue aja.”
“Makasih, Tir. Gue ke kamar mandi dulu, ya.”
Setelah Tryphosa pergi, barulah Ergi tahu maksud senyum Tirzah.
“Gi! Lo suka sama Tryphosa, ya?”