Sorry, Tryphosa!

Bentang Pustaka
Chapter #3

Dua

Pacaran backstreet itu penuh suka duka. Malah bisa jadi lebih seru daripada pacaran biasa. Pasalnya, Ergi dan Tryphosa harus pintar-pintar mencuri waktu dan tempat untuk berduaan tanpa ketahuan. Untungnya, Tryphosa punya solusi sejak hari pertama. Tryphosa punya adik bernama Tara yang masih kelas II SD. Inilah adik Tryphosa yang waktu itu diceritakan Tirzah kepada Ergi.

“Setiap jam istirahat pertama, gue selalu ke sana untuk nungguin dia makan. Kadang kalau dia lagi angot, mesti gue suapin. Kalau nggak ditongkrongin pas makan, pasti nggak bakalan, deh, bekalnya disentuh sama dia,” ujar Tryphosa. “Kalau lo nggak keberatan … istirahat pertama temenin gue ke kelas adik gue, ya? Nggak apa-apa, kan, kalau adik gue tahu kita pacaran?”

“Nggak apa-apa banget,” jawab Ergi. Ergi malah senang bisa menghabiskan waktu berdua dengan Tryphosa. Lagi pula, ternyata Tara anaknya nggak nakal dan cukup penurut.

“Tara, coba kasih lihat ke Kak Ergi kalau Tara udah pinter makan sendiri,” ucap Tryphosa kepada Tara, adiknya. “Apa Tara mau Kakak suapin?”

“Nggak! Tara bisa makan sendiri.”

Tryphosa cekikikan. “Itu triknya. Dia malu kalau disuapin di depan orang lain.”

Tara duduk dengan tenang di kursinya dan pelan-pelan mulai makan.

“Pinter. Kayak gitu, dong. Nanti kan, bentar lagi Tara jadi kakak, gantian Tara yang nanti mesti ngajarin dedek-nya makan sendiri. Jadi, Tara juga harus pinter makan sendiri, ya?”

“Mmm ….” Tara hanya menggumam masih menatap makanannya.

Tryphosa tersenyum dan mengusap kepala Tara. “Ini udah yang paling nakal di keluarga gue. Mungkin karena bontot sendiri, jadi manja. Kalau adik gue yang cowok lebih anteng lagi, dari kecil nggak pernah resek.”

“Berarti bokap-nyokap lo bahagia banget anak-anaknya baik-baik semua.”

“Ya, mungkin gue, kali, ya, yang rada nyusahin? Dari kecil gue orangnya suka ceroboh.”

“Gue punya anak kayak lo, sih, udah sembah sujud penuh syukur, Try.” Ergi tertawa. “Sayang banget sama adiknya sampai mau tiap hari nemenin adiknya makan.”

Tryphosa tersenyum malu-malu.

Mencuri-curi interaksi saat berdua adalah hal yang menegangkan, tetapi seru bagi Ergi. Seperti ketika berpapasan dengan Tryphosa, ia diam-diam menyelipkan tangannya ke tangan Tryphosa sambil berlalu. Atau, saat dia memberi surprise sepiring siomay kesukaan Tryphosa yang dititipkan ke abang penjualnya saat jam istirahat kedua.

“Bang Tarji, jangan lupa ya, ini buat Tryphosa kelas XII-2. Abang udah inget, kan, yang mana?”

“Iya, iya. Yang cantik, rambutnya agak ikal, suka diiket seperti tukang silat, tingginya segini, pakai jam tangan warna cokelat. Terus, Abang harus suruh enengnya buka kertas yang dililit ke sendok, habis itu dibaca. Gitu, kan?”

“Bener, Bang.”

“Iya, iya. Abang ngerti. Ini Adek, pacarnya?”

“Eh, bu-bukan, Bang! Itu sontekan buat ujian.”

“Ajebuset!”

“Ssst! Abang jangan bilang-bilang siapa-siapa. Oke?”

Dengan pasrah, Bang Tarji mengangguk. Rasanya begitu mendebarkan ketika Ergi mengintip dari tempat persembunyiannya. Ia melihat Tryphosa membuka dan membaca pesan darinya, lalu senyum manis gadis itu mengembang lebar.

Banyak lagi interaksi backstreet mereka yang selalu membuat Ergi senyum-senyum sendiri mengingatnya. Ketika Tryphosa sedang bermain basket, Ergi suka diam-diam menukar botol minuman Tryphosa yang kosong dengan botol minuman baru yang masih penuh. Ketika Ergi belum tiba di sekolah, Tryphosa suka diam-diam menaruh bekal makanan untuk Ergi di lokernya. Saat izin keluar ke toilet, Tryphosa juga selalu melewati kelas Ergi untuk diam-diam menyapa Ergi yang kursinya berada di pinggir jendela.

Lalu, ada momen favorit yang paling sering membuat Ergi berdebar-debar, yaitu saat pertandingan basket. Dia dan Tryphosa akan duduk di tepi lapangan saat mereka menunggu giliran masuk ke pertandingan atau beristirahat. Saat itulah Ergi dan Tryphosa pura-pura kebetulan duduk bersebelahan dan diam-diam Ergi menimpakan telapak tangannya di atas punggung tangan Tryphosa, lalu menggenggamnya. Tak ada yang sadar, tak ada yang memperhatikan karena semua orang fokus pada pertandingan.

Di balik serunya backstreet, Ergi juga mengalami deritanya. Seperti saat dia nggak sengaja salah pegang tangan Boris. Seperti saat Ergi hampir ketahuan Elvira yang entah kenapa berkeliaran di gedung SD suatu hari pada jam istirahat. Oleh karena itu, ia harus bersembunyi dahulu di semak-semak dan menunggu hingga Elvira menghilang sebelum berani keluar. Seperti saat dagangan siomay Bang Tarji sedang laku keras sehingga ia nggak memperhatikan piring dengan sendok khusus untuk Tryphosa ternyata diambil murid lain. Untung murid itu nggak menyadari bahwa kertas yang dililitkan di sendok bisa dibuka dan berisikan pesan.

Pernah juga saat Ergi diam-diam menukar botol minuman Tryphosa yang hampir kosong dengan botol minuman baru yang masih penuh dan bersegel, anggota tim basket lain melihatnya. Spontan dia mengira Ergi memang membagi-bagikan minuman untuk setiap anggota basket. Terpaksa Ergi mengiyakan dan cepat-cepat ke kantin untuk membeli berbotol-botol minuman untuk dibagikan.

Ergi juga pernah hampir dikeluarkan dari kelas ketika ketahuan oleh gurunya sedang senyum-senyum sendiri saat Tryphosa yang hendak ke toilet diam-diam menyapa Ergi dalam perjalanan.

“Hei, kamu, badut Ancol yang duduk di dekat jendela sana! Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?!” bentak Pak Waluyo, membuat Ergi nyaris terlonjak dari kursinya.

“Nggg ….” Mulut Ergi menganga. Dia kehabisan akal untuk mencari-cari alasan.

Diliriknya jendela. Tryphosa sudah berhasil kabur. Ergi menarik napas lega. “Masa, sih, Pak, saya senyum-senyum sendiri? Saya kok, nggak sadar?”

Pandangan Pak Waluyo berubah ketakutan.

Ada juga yang paling menyebalkan. Ketika mereka sedang duduk di bangku pinggir lapangan dengan tangan bergandengan, tiba-tiba muncul anggota tim basket yang habis dikeluarkan dan ditukar dengan pemain lain. Dengan napas terengah-engah dan nggak lihat-lihat arah, biasanya mereka langsung duduk dan mengempaskan diri di antara Ergi dan Tryphosa yang buru-buru melepas genggaman tangan mereka.

Kadang semua duka backstreet membuat Ergi menyerah dan ingin go public saja. Tapi, pada saat hatinya sudah mantap untuk mengumumkan status pacarannya dengan Tryphosa ke khalayak, ada saja hal yang kembali membuat hatinya ciut. Seperti ketika Ergi memergoki Tryphosa yang sehabis latihan basket tasnya jatuh dan isinya keluar semua. Ada buku tentang gizi ibu hamil yang sontak bikin anak-anak basket heboh.

“Lo hamil, Try?!” tembak Rina, Kapten Tim.

“Bukan gue.” Tryphosa menyambar buku itu dari tangan Rina. “Kalau gue hamil, mana mungkin gue ikut latihan!”

“Lah, terus, ngapain baca buku gituan?”

“Buat nyokap gue, Rin.”

“Nyokap lo lagi hamil?!”

“Iya, udah tujuh bulan.”

“Tapi, kan, lo udah kelas XII SMA?!”

Tryphosa cuma cengengesan. “Nyokap gue sekarang umurnya 40 tahun. Ya, dia nikah muda, sih. Makanya gue udah gede.”

“Buseeet ... itu mah udah cocok jadi anak lo. Bakal makin kayak Mary Poppins aja lo ngurusin anak-anak.”

Sukses, Tryphosa jadi bahan ledekan sore itu. Namun, lagi-lagi dia hanya cengengesan. Tirzah benar, sekalipun diledek teman-temannya, Tryphosa nggak pernah marah. Dia selalu senyum-senyum saja. Dia juga nggak terlihat malu dengan keluarganya.

Tryphosa juga dicap cupu karena dia susah banget diajak kumpul sehabis pulang sekolah. Selain karena backstreet, pacaran dengan Tryphosa juga nggak gampang karena pulang sekolah atau latihan basket biasanya dia langsung pulang ke rumah, jarang-jarang bisa diajak pergi. Alasannya? Harus bantu menjaga adik-adiknya di rumah. “Soalnya nyokap gue kerja, baru pulang sore, malah kadang malam.”

Lihat selengkapnya