Sorry

Alma Tsaniya
Chapter #2

Pertemuan Pertama

Jauh sebelum air mata itu jatuh di hujan pertama bulan Juli, Alana bahkan tak menyadari bahwa laki-laki itu akan mengubah segalanya. Saat itu, dia hanya seseorang yang duduk satu baris tepat di sampingnya, di kelas ekonomi sore. Biasa saja. Tidak menonjol, juga tidak mencolok.

Sudah beberapa tahun semenjak ia pindah ke kota ini, sendirian, mencoba memulai ulang sesuatu yang bahkan tak benar-benar tahu bagaimana harus diakhiri. Bandung lebih ramai dari kota asalnya, Semarang. Tapi tidak lebih hangat juga. Di sini, ia belum mengenal siapa pun cukup dalam untuk merasa akrab. Kecuali Yasmin–sahabat satu-satunya.

Ia bukan tipe yang suka keramaian. Lebih senang memperhatikan dari jauh. Tapi bahkan dari jauh pun, laki-laki itu mulai terasa dekat. Tanpa bicara, tanpa menyentuh apa pun. Ia hadir dengan cara yang tak biasa. Sunyi, tapi begitu membekas.

Tapi itulah awalnya. Yang merusak kita bukan yang datang dengan suka dan gempita, tapi yang masuk diam-diam, pelan-pelan, lalu tiba-tiba jadi segalanya.

"Angkasa." Suara berat itu mengalihkan pandangan Alana. Tangannya sudah terulur untuk berjabatan. Sedikit terkejut, Alana tersenyum tipis dan canggung, menerima jabatan tangan lelaki di sampingnya. 

"Alana," sahut Alana pelan. Hampir tak terdengar jika saja Angkasa tidak menundukkan sedikit kepalanya.

Dia ingat jelas hari itu. Langit mendung, tapi belum hujan. Ruang kelas memang tidak begitu ramai. Angkasa datang terlambat, bangku di sebelah Alana jadi satu-satunya yang kosong.

Dan mungkin, semesta benar-benar tahu di mana harus meletakkan awal dari segalanya.

Laki-laki itu—Angkasa Rayandaru—baru pindah ke kelas sore. Tingginya menjulang, posturnya canggung tapi tidak kikuk, seperti seseorang yang sedang mencari tempat tenangnya. Rambutnya hitam, sedikit berantakan seolah tak pernah benar-benar disisir. 

Tapi saat ini, dari cara Angkasa menatap sekeliling, Alana tahu ini bukan tempat yang biasa dia datangi.

Ada sesuatu dalam wajahnya yang tampak lelah tapi ramah. Mata yang tajam tapi tenang, tapi juga menyimpan banyak ruang kosong. Usianya kira-kira sebaya. Tidak banyak bicara, tapi ketika bicara, suaranya berat, jernih, dan terdengar jujur.

"Lo ambil Ekonomi sore juga?" tanya Angkasa sambil merogoh tas, mengeluarkan pulpen dan buku catatan, kemudian duduk. 

"Iya, baru semester ini,"jawab Alana seraya memgangguk, ia masih menjaga nada suara datarnya.

Angkasa ikut mengangguk. Lalu diam. Tapi bukan diam yang canggung—diam yang membuat Alana justru ingin coba menoleh lagi. Membaca ulang bahasa tubuhnya. Bertanya lebih banyak, padahal tak ada urgensi untuk tahu apa-apa.

"Gue baru pindah dari kelas pagi. Kebanyakan tugas, terlalu padat," kata Angkasa, seraya kembali menoleh menatap Alana. "Lo emang selalu duduk di sini?"

Alana mengangguk. Tatapannya masih lurus. 

"Lo emang selalu dingin dan diem gini ya?" Lanjut Angkasa. Mendengar itu Alana menoleh. Lagi. Kerutan di dahinya muncul karena merasa heran dengan ucapan Angkasa. "Maksudnya?"

Angkasa tertawa kecil. Bukan tawa lebar, tapi cukup untuk menimbulkan kerutan samar di sudut matanya. "Bercanda, jangan terlalu serius dong. Katanya, itu bisa bikin cepet tua. Emangnya lo gak tahu?" Tanya Angkasa.

"Gak." Jawab Alana ketus.

Mereka tidak bicara banyak lagi hari itu. Tapi semenjak sore itu, Alana sadar, kehadiran Angkasa seperti embun yang jatuh pelan. Tidak terasa, tapi tiba-tiba ada.

Lihat selengkapnya