Sorry

Alma Tsaniya
Chapter #4

Retakan Kecil

Langit sore berwarna abu-abu keemasan, seperti waktu sedang menahan napas. Udara masih menyimpan sisa sejuk setelah hujan kemarin, tapi hari ini matahari muncul malu-malu di balik awan. Trotoar kering, jalanan lengang, dan langkah kaki Alana terdengar jelas.

Ia tidak sedang mencari siapa-siapa. Hanya ingin berjalan, menenangkan kepala, seperti yang biasa ia lakukan saat dunia terasa terlalu ramai.

Tangannya menyelip dibalik sweater abu-abu. Wajahnya datar seperti biasa, sampai tiba langkahnya terhenti tepat di depan toko kopi tua yang baru saja akan ia singgahi.

Dan di sanalah dia. Angkasa.

Angkasa sedikit terkejut, tapi di detik selanjutnya ia dengan cepat menenangkan ekspresinya.

"Alana."

Suara itu cukup pelan, hampir seperti memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata.

Alana terperanjat. Matanya membelalak, seolah baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di hadapannya. Sebenarnya bisa saja ia berpura-pura tidak melihat. Bisa saja ia berjalan begitu saja. Tapi sial, kakinya tak segera bergerak. Dan itu menyebalkan.


"Gue gak ngikutin lo. Sumpah! Ini gue baru keluar." ujar Angkasa dengan cepat setelah menatap wajah Alana yang terlihat ketus. Meski begitu Angkasa tetap mencoba tersenyum, walau sedikit canggung. "Ini cuma kebetulan kayaknya." Lanjut Angkasa.

"Hm." Hanya itu yang keluar dari mulut Alana. Datar. Tapi kali ini tatapannya sudah tidak begitu tajam. Ada jeda aneh diantara mereka berdua untuk sesaat.

Angkasa melirik pintu di belakangnya. "Mau ngopi?"

Alana masih diam. Tapi langkahnya maju perlahan, dan itu cukup membuat Angkasa tahu jawabannya. Ya emang mau ngapain ke tempat ngopi kalau gak ngopi Angkasa...

Angkasa merutuki dirinya dalam diam. Ia menoleh kebelakang. Menimbang-nimbang apakah ia harus bicara soal kemarin pada Alana, atau tidak. Tapi akhirnya, kakinya selangkah melangkah mundur, memutar badan, dan menghampiri perempuan itu. 

"Lo suka kopi apa?" Tanya Angkasa tiba-tiba. Laki-laki itu kini sudah berdiri disamping dan menghadap Alana. Setengah menyandarkan tubuhnya ke meja kasir.

Alana menoleh sekilas, tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali lurus ke depan, seolah lebih tertarik pada rak kue kering daripada laki-laki yang kini berdiri di sampingnya.

"Kopi susu satu, sama tiramisu cake satu ya, mas." Ucap Alana pada kasir. 

Ia mencondongkan tubuh sedikit, meraih dompet dari tasnya yang kusut di sisi lengan. Ada sepi dan hening sejenak, saat ia menunggu total harga, dan dalam sepi itu, pikirannya kembali melayang ke suara Angkasa, bahkan mata yang terus menatapnya meski ia berpura-pura tak peduli.

"Dibungkus?" tanya kasir.

Alana menggeleng pelan. "Makan di sini aja."

Suaranya nyaris seperti bisikan. Tapi cukup keras untuk terdengar. Setelah itu Alana mengambil nomor meja dan mulai mencari tempat duduk yang ia anggap pas.

"Kenapa nanya?" Tanyanya datar pada Angkasa. Kakinya masih melangkah mencari. Sedang Angkasa mengikutinya dengan hati-hati.

"Nanya apa?"

"Itu, soal kopi. Kenapa nanya kopi yang gue suka?" ulang Alana dengan nadanya yang terdengar kesal. Padahal ia baru saja memulai percakapan.

Angkasa menyengir. Malu. "Oh. Tanya aja. Tadinya mau traktir, tapi lo udah langsung pesen dan bayar duluan. Gue gak dikasih kesempatan."

Mendengar itu Alana mengangkat alis, menoleh setengah, lalu menjawab lagi dengan datar, "Buat apa?"

Lihat selengkapnya