Sudah lewat senja ketika Alana masih saja duduk di depan halte kampus, tangan dimasukkan ke dalam saku sweaternya, dan pandangannya kosong menatap jalanan yang mulai sepi. Langit berwarna jingga pudar, seperti menahan malam agar tidak datang terlalu cepat.
Udara Bandung masih dingin walau tak turun hujan.
Hari itu tidak ada yang istimewa. Kelas berjalan seperti biasanya. Obrolan dengan Yasmin pun saat bertemu dikantin tak banyak. Bahkan Angkasa pun hari ini lebih banyak diam–tak seperti biasanya. Tapi entah kenapa langkahnya sore itu terasa lebih berat.
"Lo selalu suka duduk disini ya, Alana?" Suara itu membuatnya menoleh, bukan karena terkejut–tapi karena ia sudah tahu pemilik suara itu.
Alana hanya mengangguk. Tak tersenyum, tak mengusir.
Angkasa duduk tak jauh darinya, ia masih menjaga jarak seperti biasa. Seolah sudah tau ada batas yang masih belum bisa Angkasa hancurkan.
"Katanya besok hujan deras, lo jangan lupa bawa payung."lanjut Angkasa.
Alana menoleh singkat, tak membalas. Tapi ia mendengar, dan Angkasa tahu itu.
"Gue gak tahu banyak soal lo, Alana," tambahnya, lebih pelan. "Tapi kalau lo mulai cerita, gue gak akan kemana-mana."
Tak ada percakapan sesaat. Alana diam. Begitupun Angkasa. Tapi kemudian, "hari ini macet banget ya, Kas? Soalnya tadi lo datengnya agak telat." Hanya itu yang keluar dari mulut Alana. Tiba-tiba. Tapi justru itu yang membuat senyum hadir di bibir Angkasa.
Angkasa mengangguk semangat. "Iya, tapi itu mungkin karena gue dari Setiabudi. Daerah sana kan macet terus."
"Oh iya ya? Gue masih belum terlalu banyak tahu daerah sini."
"Oh lo darimana?"
"Gue kos deket sini. Tapi dulu, di Semarang."
Angkasa menoleh. Itu pertama kalinya Alana menyebut soal asalnya. Biasanya, semua yang bersentuhan dengan kata "dulu" langsung dia lipat dan kunci rapat-rapat.
"Udah lama?"
"Dua tahun," Alana diam sejenak, sedikit ragu. "Semenjak orang tua gue meninggal."
Angkasa tidak langsung menjawab. Ia menatap Alana sebentar, lalu kembali menunduk.