Suara mesin kendaraan yang bersahutan dengan klakson kini menggema di telinga Rhea. Saat ini gadis itu tengah fokus mengendarai kuda besi miliknya, membelah jalanan, menuju rumah Abi. Dalam perjalanan ia terus saja menyurah-serapahi cowok itu, yang membuat Rhea kesusahan. Jika bukan karena tetap ingin berada di organisasi PKS, maka gadis itu tidak akan mau melakukan semua ini.
Motor miliknya kini berhenti di depan sebuah rumah minimalis, dengan beberapa tanaman hias yang menjadi pagarnya. Rhea segera mematikan motornya—turun dari sana.
Dipencetnya bel rumah beberapa kali, hingga pintu terbuka dari dalam. Seorang cowok dengan kaos hitam polos terlihat setelah pintu terbuka dengan sempurna. Mata hitamnya menatap datar.
“Gue kira lo gak jalanin tugas yang gue kasih?” ucap cowok itu. Siapa lagi kalau bukan Abigail Mizar Putra, ketua PKS yang nyebelinnya minta ampun.
“Niatnya mau gitu sih, Kak. Tapi gue bukan orang yang kayak gitu,” jawab Rhea tanpa ekspresi yang membuat Abi menatapnya datar.
Rhea tak memperdulikan ekspresi cowok itu sekarang. Dia membuka tasnya—mengambil sesuatu dari sana—dan menyodorkannya pada Abi. Dengan ekspresi yang masih sama, Abi menerima buku yang tersodor di depannya. Cowok itu membuka buku tersebut, sesekali dia menganggukkan kepala setelah membaca sekilas di setiap lembar buku di tangannya.
“Oke,” ucap Abi yang membuat Rhea menghela napas lega.
Abi mengalihkan pandanganya pada Rhea, cowok itu mengernyitkan kening melihat Rhea yang masih setia berdiri di depannya saat ini. “Kenapa lo masih di sini? Sono pulang, ntar dicariin orang tua lo lagi!”
“Hah.”
“Kenapa? Lo berharap gue persilahkan masuk?” Rhea mendengus sebal mendengar perkataan cowok itu. Giginya gemertak, tangan sudah terkepal bersiap melayangkan tinju.
Mata hitam itu beralih pada tangan Rhea yang terkepal. Bibir tebal miliknya menyunggingkan senyum mengejek. Abi melipat tangan di depan dada, seakan memberi tanda menerima tantangan.
Menghela napas, mencoba mengontrol emosi. Bibir tipis itu kembali terbuka setelah mengatup cukup lama.
“Siapa juga yang—“
“Ya udah, sono balik!” potong Abi. Lagi-lagi gadis itu hanya mendengus sebal. Berjalan ke arah motornya dan pergi dari kawasan rumah Abi dengan wajah super kesal, lebih kesal dari yang tadi.
Gadis itu sebenarnya tidak berharap dipersilahkan masuk. Toh jika Abi mempersilahkan dia masuk, Rhea akan menolaknya. Tapi pengusiran yang dilakukan cowok itu membuat Rhea menarik kesimpulan, jika Abi orang yang tidak punya sopan santun juga tidak ramah dan satu lagi, menyebalkan.
Sampai di rumah, Rhea disambut oleh ayahnya yang saat ini tengah duduk di ruang tamu dengan tatapan menyelidik. Rhea tersenyum tipis, menghampiri sang ayah—mencium punggung tangan pria paruh baya itu.
“Kenapa jam segini baru pulang?” tanya ayahnya.
“Rhea ngumpulin tugas dulu, tadi, Yah.”
“Tugas, yang kemarin itu?” Rhea hanya mengangguk yang membuat pak Reno menghela napas.