Decakan sebal keluar dari mulut seorang gadis yang saat ini tengah duduk sambil membaca buku di bangku bagian depan. Dia menggerutu dalam hati karena merasa terusik dengan suara tangisan dari gadis di bangku pojok belakang, yang menurutnya terlalu berlebihan.
Menghela napas, dia mencoba kembali fokus pada bacaannya. Saat ini gadis itu tengah membaca novel kesukaannya, tapi karena suara yang menganggu itu, membuat konsentrasinya buyar. Meskipun ia mencoba fokus beberapa kali, tapi hasilnya tetap saja. Ambyar.
“Vi, tuh si Rika kenapa, sih? Perasaan nagis mulu dari tadi, ganggu banget,” ucap gadis itu pada teman sebangkunya, Viana—yang baru saja kembali dari tempat Rika.
“Kalau lo nagis sampai kayak gitu, biasanya lo kenapa?” Bukannya menjawab Viana malah balik bertanya. Menutup buku novel—meletakkannya di atas meja— gadis dengan rambut yang dikuncir kuda itu menatap datar ke arah Viana. Sedangkan yang ditatap hanya menaikan kedua alis, bingung dengan ekspresi gadis di depannya.
“Gue gak pernah ya, nangis sampai kayak gitu. Gak banget. Udah deh to the point, aja!” ujar gadis itu. Viana tertawa mendengarnya, sedangkan gadis itu hanya mengernyitkan kening, bingung. Perasaan tidak ada yang lucu dengan perkataannya, tapi mengapa Viana tertawa seperti itu? Apa mungkin, dia lupa bawa otak saat berangkat, tadi? “Kenapa lo ketawa?”
“Sorry, Rhe! Gue lupa kalau lo bukan cewek ori,” ucap Viana gamblang yang di akhiri dengan kekehan mengejek.
Jitakan kini mendarat mulus di kepala Viana, hingga membuat gadis itu berhenti tertawa—mengaduh sakit—menatap Rhea sang pelaku dengan tajam. Seakan ingin membunuhnya.
“Lo yang bener aja, dong. Ini kepala, bukan samsak,” protes Viana sambil mengelus kepalanya. Rhea memutar bola mata malas. Gadis di depannya itu memang selalu bisa membuat Rhea naik pitam, tapi meskipun begitu dia jugalah yang membuat Rhea tertawa.
“Yang bilang samsak siapa? Kalau itu samsak, bukan gue jitak lagi tuh kepala, tapi langsung gue tinju. Biar otak lo normal lagi, sekalian,” jawab Rhea yang tak kalah kesal. Viana mengerucutkan bibir, gadis itu sudah kebal dengan mulut Rhea Alpha Lupi yang bar-bar itu. Menjadi teman sebangku selama setahun, bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal gadis itu.
“Lo gitu amat sama temen.”
“Lo juga sama. Apa maksud lo ngatain gue bukan cewek ori!?” tanya Rhea dengan tatapan tajamnya.