Ini sama sekali di luar rencana! Aku menengok ke kanan, menengok ke kiri, berputar. Jantungku berdebar keras. Tolong!
Cahaya matahari tumpah meruah dari lubang di kubah langit-langit. Bagian dalam bangunan ini bernuansa abu-abu, tapi hanya sudut-sudut paling ujung yang terasa gelap. Pengaturan jatuhnya cahaya matahari yang sempurna membuat ruangan sama sekali terang. Sungguh mahakarya abadi, mengingat bangunan ini telah berdiri kira-kira dua ribu tahun lamanya.
Cahaya itu pulalah yang sedari tadi membuatku terpukau, membuatku menengadah terus. Sejarah itu, sekaligus pilar-pilar raksasa Pantheon juga yang membuatku terkagum-kagum, terus memandangi detail-detail kuil yang sekarang berfungsi sebagai gereja itu. Dan, aku lupa daratan. Aku hilang!
Aku kembali menengok-nengok sambil mulai berjalan kembali ke arah pintu superbesar bangunan itu. Mana Mama? Mana ibu-ibu lain? Mana rombongan? Tentunya Agus si pemandu tur ingat, dong, bahwa ada anggota rombongan tur yang hilang?
Setelah ini, rencana rombongan akan pergi ke mana, sih? Samar-samar beberapa lembar kertas yang distaples muncul dalam benakku. Kertas-kertas itu berisi jadwal acara tur. Sialnya, satu-satunya tulisan yang muncul di pikiran adalah “05.00: bangun pagi”. Aku ingat soalnya, sumpah, aku paling sebal disuruh bangun pagi-pagi! Selanjutnya tentu saja—meskipun aku tidak hafal jamnya—adalah sarapan, kumpul untuk briefing singkat, lalu berangkat untuk melihat tempat-tempat wisata yang dijadwalkan hari itu. Begitu terus selama seminggu. Kami akan berkeliling kota-kota besar di Eropa. Ini tur pesanan yang sengaja dibuat mengikuti kesenangan ibu-ibu arisan gaul yang doyan belanja. Tur khusus ibu-ibu doyan belanja? Tentunya atraksi utamanya adalah belanja, dong! Tempat wisata terkenal hanya jadi bonusnya.
Belanja! Benar! Mengingat kesukaan Mama itu, aku mempercepat langkah keluar Pantheon. Tapi, begitu udara sejuk musim semi Roma menerpa kulitku, kaki-kakiku kembali mogok. Belanja di mana? Belanja apa?
Di hadapanku terbentang pelataran yang tidak begitu luas, mungkin hanya sekitar sepertiga luas lapangan sepak bola. Pelataran itu penuh orang. Bule-bule asyik duduk berjemur menikmati sinar matahari sambil mengobrol. Ada juga kereta kuda lengkap dengan kudanya yang dihias bunga-bunga musim semi. Di sebelah kiri luasan yang dikelilingi bangunan itu, pengamen asyik menyanyi. Pengamen? Urmm, mungkin lebih tepat disebut mahasiswa seni sedang ngamen, kali, ya? Soalnya alat ngamennya adalah harpa besar, bukan sekadar gitar kopong seperti pengamen di Jakarta. Selain itu, menyanyinya pun lagu opera nan indah.
“Con te partirò … paesi che non ho mai … veduto e vissuto con te … adesso sì li vivrò …. Con te partirò … su navi per mari … che io lo so … no no non esistono più … con te io li vivrò ….”
Di depan si pengamen terbuka kotak harpanya, hitam dengan lapisan beledu di dalamnya. Di dalam kotak itu terpajang beberapa CD bersampul putih bergambar siluet siapa lagi kalau bukan si pengamen? Di sampingnya terdapat secarik kertas bertulisan €10. Duh, indahnya suara itu. Rasanya pengin, deh, punya CD-nya biar bisa terus didengarkan di Jakarta nanti. Aku mendekati si pengamen. Sambil berjalan kurogoh saku jins. Ada uang nggak, ya?
Uang!
Sumber kekhawatiran baru meledak dalam kepalaku. Aku tidak bawa uang! Tepatnya, aku tidak bawa uang dalam nominasi euro. Uangku dalam bentuk dolar Amerika. Semua euro dipegang oleh Mama.
“Ini masih pecahan besar semua, nanti kalau sudah dipakai belanja, Mama kasih kamu. Nggak usah pegang banyak-banyak, kan? Kita, kan, tahu beres ikut tur. Lagian, nanti kalau belanja di butik, paling kita pakai kartu kredit,” begitu kata Mama tadi pagi saat aku minta pecahan euro.
Langkahku surut kembali ke balik pilar-pilar raksasa Pantheon. Buru-buru aku membuka tas selempangku dan mengeluarkan dompet. Sembunyi-sembunyi kuhitung lembaran dolar di dalamnya. Lima ratus dolar. Semuanya dalam pecahan seratusan. Bukan uang kecil juga. Itu pun harus ditukarkan dulu.
Debar jantungku yang sempat mereda kembali memburu. Duh, lima ratus dolar, kan, kira-kira sama dengan lima juta rupiah, ya? Banyak amat! Kok, rasanya jadi nggak aman, ya? Katanya di Roma banyak copet!
“Mau jajan apa, Neng, pamer-pamer duit di sini?”
“Aaaah!” jeritku spontan. Siapa, sih, yang kurang ajar mengagetkanku begitu? Nggak tahu orang lagi panik apa, ya? Aku menengok ke sumber suara.
“Ramadya. Panggil aja Rama,” kata seorang cowok berjaket dan bercelana jins hitam serta berkaus bergambar Monas, sedang mengangsurkan tangannya kepadaku. “Gue juga ikut tur lo. Kayaknya kita sama-sama ketinggalan.”
Aku menatap tangan yang diulurkan itu dengan curiga. Ya, samar-samar aku ingat cowok dengan rambut superpendek sampai nyaris botak ini duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, sibuk dengan tas kamera ukuran sedang yang berisi entah apa saja. Lalu, aku ingat lagi cowok ini di ruang tunggu Bandara Dubai, duduk berselonjor di salah satu kursi malas yang disediakan dekat gerbang keberangkatan kami. Tentu saja masih dengan tas kamera yang sama.
Tas kamera yang sekarang terselempang di bahunya.
“Elo Zetta, anaknya Bu Sisil,” kata Rama sambil menurunkan tangannya yang tidak kusambut. Saat briefing di Bandara Soekarno-Hatta, kami memang diminta menyebutkan nama masing-masing. “Gue keponakan Bu Rita. Sepupu gue batal ikut karena ternyata skripsinya boleh ikut ujian untuk wisuda bulan depan. Tante gue nggak boleh ikut tur sama om gue kalau nggak ada yang nemenin. Sementara kalau nggak ikut tur belanja … tante gue gitu,” Rama mengangkat bahu, “jadi, deh, gue ikut. Asyik, kan?”
Aku tetap curiga. Oke, aku merasa ingat telah melihat cowok ini dalam rombongan. Oke, cowok itu juga tahu namaku. Dan, jelas dia orang Indonesia dari Jakarta—nggak mungkin, kan, un italiano ngomong gue-elo?
Tapi, sekarang ini rasanya aku hanya ingin melihat Mama.
“Ehm,” aku berdeham melegakan tenggorokan yang tak terasa sedari tadi ternyata kering, “iya, betul, gue Zetta. Elo … elo ketinggalan tur kita juga?”