Sotter Celo de Roma

Bentang Pustaka
Chapter #2

Beban

Kami melangkah meninggalkan Piazza della Rotonda. Iya, kami …, gue dan cewek itu. Tentunya setelah dia mengusap matanya dengan tisu, sementara gue pura-pura tidak melihat. Dia nangis setelah melihat ponselnya ternyata mati. Cewek banget, sih! Nangis karena kesalahannya sendiri. Terus terang, dalam hati tadi gue sempat mengumpat, Yaelah … payah amat, sih, cewek ini! Tentu saja gue juga jadi agak menyesal, nih, nyapa dia tadi.

Sebenarnya, pas melihat dia di antara pilar-pilar Pantheon gue girang. Asyik, ada yang bisa diajak jalan bareng. Gue memang sudah berencana keliling Roma, dan nanti juga kota-kota lainnya, sendiri. Tapi, kalau ada teman, kan, lebih asyik. Bukan begitu, bukan? Kalau ada teman jalan, artinya ada teman ngobrol, ada teman berbagi makan—maksud gue, dia bisa pesan menu A dan gue pesan menu B, terus kami sharing gitu biar bisa nyicipin banyak jenis makanan, ada teman buat berbagi pendapat dan memilih tempat mana yang mau didatangin. Yah, intinya, sih, kalau ada teman, jalan itu lebih seru, titik. Lagian, dalam rombongan ibu-ibu yang kami ikuti ini kayaknya yang sepantaran sama gue cuma dia. Ada, sih, yang kayaknya anak kuliahan juga, kalau nggak salah namanya Mayka, tapi dari gayanya saja gue juga ngerasa cewek yang itu nggak bakal cocok sama gue. Dia dandan abis gitu, pakai high heels, dan bawaannya tas emak-emak. Itu, loh, tas yang pegangannya pendek banget sehingga kalau dicangklong, tuh, maksa banget. Udah gitu bahannya dari kulit ular, lagi. Gue nggak tahu, sih, kulit ularnya sungguhan apa bohongan. Tapi, tetep aja, deh.

Anyway, Zetta ini menurut gue gayanya lebih asyik daripada Mayka. Dari kemarin dia tampil sederhana saja. Hari ini pun dia cuma pakai jins biru gelap, kaus putih, serta bolero ungu muda berenda. Sepatunya Keds maroon. Rambutnya dicepol asal dengan helai-helai lepas berantakan di sana sini. Bawaannya tas selempang. Gayanya bikin gue jadi ingat tokoh Celine dalam film Before Sunset. Ah, film yang bagus. Salah satu yang membuat gue senang mendapat kesempatan ke Eropa ini adalah karena gue bisa melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini hanya gue lihat dalam film atau gue reka dari novel-novel.

Biarpun sudah nonton macam-macam film tentang tempat-tempat di Eropa yang bakal gue datangi, tetap saja menjejakkan kaki langsung di sini ternyata beda banget rasanya. Misalnya, nih, gue baru tahu ternyata jalanan di Roma, tuh, sempit-sempit banget. Jalanannya juga silang selisih gini kayak labirin. Kayak … apa, ya? Kayak Jakarta Kota gitu kalau kita jalan kaki masuk ke gang-gang di seputaran Glodok. Nah, gitu, deh, ribetnya silang selisih jalanan di Roma. Tapi, jalanan di sini dibuat dari batu-batu. Iya, bahkan jalanan buat mobilnya juga. Jadi, kesannya kuno banget gitu.

Gila, sepagi ini gue baru ngelihat satu tempat wisata di Roma, yaitu Pantheon, tapi rasanya gue sudah bisa ngoceh panjang banget tentang apa yang gue lihat. Sekarang ini, nih, gue dan Zetta jalan di gang sempit yang kanan-kirinya dibatasi bangunan-bangunan tinggi. Gue nggak tahu bangunan-bangunan itu apa, tapi sepertinya apartemen. Mungkin di sanalah penduduk Roma tinggal. Sedari tadi gue nggak merasa melihat penduduk asli Roma. Maksudnya, kalau di Jakarta, kan, sepertinya isinya penduduk lokal semua, nah, di Roma ini, kayaknya isinya turis semua. Bahasa asing terdengar di mana-mana. Bahasa Inggris pastinya, juga bahasa Spanyol, Prancis, bahkan China. Bahasa Italia sepertinya hanya digunakan oleh pelayan restoran, penjaga toko, dan penjaga pintu di Pantheon tadi.

Sebenarnya, tadi gue pengin langsung ke Colosseum. Salah satu peninggalan sejarah yang paling wah di dunia, tuh. Selain itu, ada juga Forum Romanum dan Museum Capitolini. Salah satu museum paling menarik di dunia. Gila, kalau di Museum Fatahillah saja gue bisa ngabisin waktu minimal tiga jam gitu, gue nggak tahu, deh, berapa waktu yang gue butuhin buat nikmatin koleksi museum yang ini sampai puas. Sehari? Seminggu?

Masih banyak banget tempat wisata yang pengin gue datangi di Roma. Terus terang, gue bingung harus memilih mana yang didatangi. Rasanya mau, deh, gue tinggal di Roma satu minggu, atau satu bulan sekalian, supaya sempat mendatangi semua tempat menarik di dalamnya. Supaya sempat merasakan suasananya. Supaya sempat jadi orang Roma.

Tapi, tentu saja, tur yang diikuti Tante Rita ini singkat saja waktunya. Baru kemarin kami tiba di Roma setelah perjalanan berbelas jam dari Jakarta. Menginap tiga malam, lalu kami akan berangkat ke Swiss, lalu setelah itu belok kiri ke Prancis. Paris, apa lagi? Tur itu juga berfokus pada belanja. Dan, di Roma ini ibu-ibu itu menfokuskan diri mereka pada daerah yang banyak dijajari butik-butik terkenal, seperti daerah Piazza di Spagna.

Daerah yang sekarang kami tuju. Gue melirik Zetta yang berusaha menjajari langkah gue. Gara-gara kasihan sama cewek ini, gue tadi jadi memutuskan balik arah ke timur laut dulu, bukannya berjalan ke timur, ke Colosseum. Huh!

Ini yang namanya telanjur. Tadi, setelah melihat cewek itu nangis, gue jadi jatuh kasihan dan supaya dia berhenti nangisnya, gue ajak aja dia ke Piazza di Spagna karena setahu gue di sana banyak butik, jadi kemungkinan besar rombongan tur kami bakal ke sana. Wuih, yang namanya girang, belum pernah, deh, gue ngelihat orang segirang dan sebersyukur itu.

“Makasih, ya, Rama! You save my day!” katanya.

Buat gue, sih, save your day apaan? Belanja sama ibu-ibu gitu asyiknya di mana? Eh, mengingat dia juga cewek, mungkin juga dia ikut tur ini bukan sekadar nemenin ibunya belanja, tapi karena memang mau ikut belanja! Yah, dari sisi pandang itu gue memang save her day, deh.

Tapi, kegirangannya cepat sirna. Gue perhatiin, dia kayaknya nggak enjoy banget jalan kaki gini. Sementara gue sibuk memperhatikan gedung-gedung yang mengapit jalan, dia ngikutin gue seperti anjing ketakutan. Nggak mau jauh-jauh dari gue. Mungkin di Jakarta dia nggak pernah jalan-jalan atau berada di tempat umum sendirian, kali, ya? Yang jelas, sekarang dia mukanya sudah mulai cemberut lagi. Ya, ampun, tahunya gue kebebanan anak manja, nih. Bete juga, deh, jadinya.

“Jangan manyun aja, dong, Neng …,” tiba-tiba gue kumat isengnya. Abisan, daripada dia bete terus lalu nularin gue, mendingan gue godain saja, kan?

“Apaan, sih, lo?” Zetta malah membuang muka.

“Yah, baru gitu aja udah marah …. Payah, nih,” gue malah makin iseng.

Lihat selengkapnya