Agus mengangkat bendera yang dipegangnya tinggi-tinggi. Bendera itu bendera putih dengan bordiran lambang tur Happy Holiday. Lambangnya rada norak, kayak lambang emoticon senyum dengan latar bendera merah-putih. Ah, biarlah, yang pasti peserta turnya yang biasanya ibu-ibu kaya tidak pernah ada yang peduli.
“Sudah semua?” tanya Agus. Gerombolan ibu-ibu itu tidak ada yang memedulikannya. Semua sibuk dengan tentengan masing-masing.
“Halooo … Ibu-Ibuuu …, sudah semua? Yuk, kita jalan ke bus. Kita pindah ke Via Condotti ….”
“Tunggu-tunggu, Gus …. Itu rombongannya Sisil baru datang!” seru Bu Yasmine.
Dari salah satu lorong kelihatan beberapa ibu Indonesia berlari gedebak-gedebukan. Gerakan mereka agak repot dengan plastik aneka ragam yang dibawa masing-masing dan sepatu high heels yang kurang cocok dipakai jalan kaki di jalanan Roma yang dilapisi batu.
Agus menggeleng-geleng. Dasar ibu-ibu, rutuknya dalam hati.
Sementara Agus geleng-geleng, para peserta tur malah sibuk membandingkan belanjaan masing-masing, sambil bergerak memasuki bus dan menyebar duduk.
“Sil, lihat, deh, kaus yang gue beli ini. Bagus, ya? Murah, lagi!” Bu Mella mengeluarkan selembar kaus dari dalam plastik. “Bahannya, sih, tipis, tapi kalau buat oleh-oleh sopir gue aja mah cukup banget, deh.”
“Mana? Sini gue lihat ….” Bu Sisil meraih kaus yang diangsurkan Bu Mella, merabanya, melihat gambarnya. Colosseum. “Lucu gambarnya, Mel.”
“Mana, lihat dong ….” Bu Dina muncul dari atas tempat duduk bus. Saat ini bus yang mengangkut mereka memang sudah mulai bergerak menuju Via Condotti, pusat belanja mewah di Roma.
“Beli apa aja lo, Mel?” Bu Wynda ikut-ikutan muncul dari atas tempat duduk bus. Mereka memang duduk di belakang Bu Sisil dan Bu Mella. Teman-teman mereka yang lain duduk sporadis dalam bus yang tidak terlalu penuh. Peserta tur ini hanya tiga puluh orang. Masing-masing peserta arisan mengajak seseorang. Ada yang mengajak anaknya seperti Bu Sisil, ada juga yang mengajak keponakan atau adik-kakak, tapi mayoritas mengajak pasangannya.
“Nih, gue beli kaus, terus gantungan kunci. Buat oleh-oleh aja ….” Bu Mella dengan riang membuka belanjaannya.
“Ih, elo nggak sempet jalan agak jauh, ya? Tadi gue sempet dapet toko yang jual Murano glass, loh. Cakep banget! Lihat, nih …,” Bu Dina mengangsurkan kotak perhiasan berisi liontin Murano glass. Bentuknya kotak sederhana, tapi kacanya berlapis-lapis dan aneka warna, juga ada bentuk-bentuk bunga di dalam lapisan kacanya. Cantik banget!
“Ya, ampun, Din! Cantik banget! Di mana, nih? Kita mesti balik ke sana, nih! Gue juga mau …,” seru Bu Mella.
“Tunggu dulu, elo belum lihat yang ini,” Bu Wynda nggak mau kalah pamer.
Dan, bus terus berjalan ….
Tak sampai dua puluh menit bus sudah berhenti dan parkir di sisi jalan. Sopir-sopir Italiano ini harus diacungi jempol sepuluh, soalnya jalanan Roma sempit-sempit, tapi bus besar tetap bisa lewat dengan mulus. Agus mengangkat mikrofon bus dan menyalakannya.
“Ibu-Ibu, ini Via Condotti. Mau cari butik apa juga ada di sini. Jadi, silakan, ya, kita kumpul lagi di bus ini jam satu siang, ya, untuk berangkat makan siang di Piazza Navona. Jangan nyasar, ya, Ibu-Ibu ….”
Agus mematikan mikrofon, lalu memperhatikan para peserta turnya mulai menuruni bus satu per satu. Sembari turun ibu-ibu itu sibuk membicarakan butik-butik yang akan mereka datangi dan barang-barang yang akan mereka beli. Si ibu anu ingin coat—karena keren tentu saja, bukan karena perubahan musim sudah membuat Indonesia jadi dingin—si ibu itu ingin high heels lagi, sementara si ibu yang inu lebih tertarik pada tas tangan yang cocok digunakan untuk nampang di mal.
Terakhir turun adalah si gadis cantik, Mayka. Si cantik melirik dan menoleh ke arah Agus sebelum menuruni tangga bus. Agus nyengir. Duh, duh, kalau saja dia bisa menyukai cewek cantik, pastinya dia bakal ter-kewer-kewer dapat lirikan tadi.
Nah, semua beres. Sekarang giliran Agus yang belanja. Sudah lumayan lama dia tidak menginjakkan kaki di Roma, mungkin sekitar satu tahun. Belakangan tur yang dipimpinnya kebanyakan tur ke daerah Asia. Ah, betapa Agus merindukan masa-masa dia bekerja sebagai personal shopper seorang ibu pejabat. Sebagai personal shopper dulu itu dia bisa menjelajah negara-negara Eropa serta keluar-masuk butik-butik kelas atas, dengan bebas membela-beli tas, bot, gaun, aksesori yang indah-indah meskipun bukan buat dirinya sendiri. Ah, hidup terus berputar. Sekarang Agus harus puas dengan pekerjaan ini. Tapi, yang penting dia tetap bisa jalan-jalan ke luar negeri dan sekali-sekali bisa membeli barang-barang indah yang sesuai dengan koceknya.
Agus mengerjap, melepaskan dirinya dari lamunan. Butik Costume National menunggu! Agus tak sabar ingin melihat tampilan jaket yang sudah ditaksirnya sejak dilihatnya dari laman butik tersebut. Agus meletakkan mikrofon yang sedari tadi masih dipegangnya. “Be back in three hours, okay?” katanya pada sopir bus. Italiano berdagu biru dengan hidung superlancip itu hanya mengangguk. Dada Agus berdesir.
Tapi, letupan kegembiraan itu terpaksa terganggu suara ribut-ribut di bawah tangga bus. Ampun, deh, dasar ibu-ibu, kenapa lagi, coba? gerutu Agus dalam hati. Buru-buru dituruninya tangga bus.
“Kenapa, Bu? Ada apa?” tanya Agus cepat.
Di samping bus berkumpul beberapa ibu; Bu Sisil, si istri dirut Rumah Sakit Sehat Husada, Bu Yasmine dan suaminya, Pak Totok; Bu Rita; Bu Santi dan Mayka; juga Bu Dina; Bu Wynda; dan Bu Maya. Anggota rombongan yang lain sudah tidak kelihatan batang hidungnya, kemungkinan besar sudah lenyap ditelan butik-butik yang menjajari Via Condotti dan jalan-jalan kecil di sekitarnya ini.
Bu Sisil tampangnya panik betul. Agus mencium bahaya—bahaya bagi kesempatannya memperoleh jaket idaman dari Costume National.