Marrisa memegang bahu kakak perempuannya lembut, menenangkan diri yang tengah bersedih itu.
"tidak apa kak, jangan menangis, mungkin tuhan sedang meguji kakak, dan pasti ada alasan kenapa dia mengambilnya agar kakak bisa ikhlas dan berjuang lagi"
Allysa Amy-nama kakak perempuan Marrisa, hanya bisa tersenyum sambil menghapus sisa air mata di kedua pipinya, ruangan itu hening.
padahal, beberapa jam yang lalu, terdengar suara bayi yang terus menangis, bayi yang masih dalam keadaan berlumuran darah, dan juga ucapan syukur yang terus menerus terucap dari seorang laki-laki yang terus berada di samping Allysa sedari tadi.
namun kini tak lagi, bayi itu sudah berjuang, namun tak bisa lama. Tuhan telah kembali membawanya, semua orang sudah berusaha untuk mempertahankan bayi kecil itu, namun jika tuhan sudah menulis takdirnya, tak mudah bagi seorang manusia untuk merubahnya.
Allysa sudah mengikhlaskannya, walaupun memang berat karena itu adalah anak pertamanya dengan Daffin-suaminya. mereka sudah menjaga dengan baik saat bayi itu masih dalam kandungan Allysa, Daffin pun selalu senang jika bercanda dengan perut Allysa yang dulu masih buncit seakan-akan tengah bercanda dengan bayi mereka.
"aku sudah menyiapkan nama untuknya saat perjalan kesini" Daffin memegang tangan yang lemah itu dengan erat. Matanya pun sedari tadi menahan tangis, namun dirinya tak ingin terlihat bersedih, terlalu takut jika Allysa makin bersedih karena melihatnya menangis.
"siapa? padahal kamu belum tahu jika anak kita laki-laki atau perempuan"
"entahlah, aku sudah yakin jika anak kita itu laki-laki"
"siapa namanya?"
"namanya-"
***
oh, astaga sudah berapa lama Abigail tertidur? kepalanya terasa sangat pening, bahkan saat dirinya bangun dan pergi keluar kamarnya, matanya menggelap dan berkunang-kunang.
"anjir! pusing" rutuk Abigail, ia berjalan sambil berpegangan pada dinding kamar sampai ia keluar dari kamarnya. Di ruang tamu, Krista menatapnya terkejut dan segera berjalan mendekat.
"kak? kenapa? sakit lagi kepalanya?" tangan kecilnya memegang kedua bahu Abigail dengan erat, menuntun Abigail menuju sofa.
"heh, udeh ah gw gak apa-apa kok, cuman tadi kebanyakan tidur jadi kepala gw agak pening"
"tapi badan kakak anget"
"sumpeh gw gak apa-apa Kris.."
Krista diem terus nyuruh Abigail duduk di sofa, habis itu dia duduk disebelahnya. "beneran? terus kakak udah makan belum? ohh pasti belum lah, daritadi kakak tidur, gw siapin makan dulu ya, tadi kak Agatha buat makan siang sekalian yang lain pada makan juga, pas mau ngajak kakak, ehh ternyata malah udah molor di kasur"
"ohh, yang lain udah pada pulang daritadi?"
"heem" Krista bangkit dari duduknya, pergi menuju dapur buat angetin masakan tadi siang.
"gw ngerasa gak enak udah ngerepotin mereka, repot-repot dateng cuman buat sadarin gw, tapi habis itu malah gw tinggalin tidur, mana gw belum bilang makasih" Abigail bicara sambil menunduk, memainkan jari-jari tangannya.
"gak apa-apa kok, mereka juga seneng pas kakak udah sadar, mereka khawatir banget tahu pas gw telponin dan bilang kalo kakak pingsan"
bener-bener sih, Abigail harus bersyukur banget punya temen yang setia dan always bantuin dia walaupun kalo dia jatoh doang, paling ya, kalo Abigail jatoh, diketawain dulu baru ditolongin.
"nih kak, dihabisin loh! gak mau tahu" Krista menaruh semangkok sup ayam dan satu mangkok lagi berisi nasi hangat,