JANITRA seorang diri! Dia terus menggiring bola ke depan, melewati dua pemain belakang lawan! Dan … satu tendangan keras ke arah gawang. GOOOL!!!
Janitra mendengar nada dering ponsel hasil dari rekaman suaranya sendiri. Dia berhenti berlari. Kemudian, dia merogoh saku dan langsung menekan tombol yes di ponselnya. Nada dering nyentrik ponselnya tak terdengar lagi.
“Alô?” sapanya.
Sedetik kemudian, suara Beatriz dari seberang telepon memberondongnya dalam bahasa Portugis.
“JANE! Kau tahu, aku baru saja menemukan cara jitu untuk memberi pelajaran Flavia. Ya, kau tahu kami sedang berlatih voli bersama. Dan, coba tebak! Tadi aku menghantam kepalanya dengan smash keras. Coba kau bayangkan betapa pusing kepalanya dihantam bola voli.” Beatriz berhenti bicara sesaat, digantikan suara tawanya yang keras. “Kurasa aku harus melakukan ini berulang kali. Dia harus diberi pelajaran. Bagaimana menurutmu?”
“Eh?!”
Janitra bukannya tidak mengerti, dia memang sudah mulai lancar berbicara bahasa Portugis. Kekaguman Janitra pada sepak bola Brazil membuat gadis itu mencari tahu banyak tentang Brazil, termasuk bahasanya. Janitra belajar otodidak, belajar via internet dan buku, sebelum memantapkan bahasa Portugisnya selama pembekalan menjelang keberangkatan ke Brazil. Janitra tak kesulitan mempraktikan kemampuan bahasa Portugisnya. Namun, berbeda jika rangkaian kata-kata bahasa Portugis diucapkan cepat-cepat seperti yang Beatriz lakukan barusan. Meski begitu, setidaknya dia masih bisa menangkap inti ucapan Beatriz.
“Ok. Kuanggap kau setuju dengan caraku. Omong-omong, kau udah sampai mana?”
“Aku udah jalan di trotoar. Kau di bagian mana, sih?
Suara Beatriz tak terdengar jelas. Sesaat kemudian, malah terdengar irama tabuhan perkusi bernada penuh semangat.
“Kau dengar itu?” Suara Beatriz kembali mendominasi dari seberang telepon. “Cari saja sekumpulan pemuda yang tengah memainkan perkusi mereka. Aku dan beberapa anak lain, termasuk Flavia, main voli tak jauh dari mereka. Kutunggu kau di sini.” Panggilan ditutup.
Janitra memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Tadi pagi Beatriz mengajaknya bermain voli di pantai Ipanema. Meski dia tak terlalu suka voli, Janitra memilih mengiyakan ajakan Beatriz. Setidaknya dia bisa menghirup udara segar pantai.
Sebenarnya ini bukan kali pertama gadis itu mengunjungi pantai Ipanema. Hari pertama dia tiba di Brazil sebagai peserta pertukaran pelajar, dia sempat mampir sejenak bersama-sama peserta yang lain. Dan, pernah juga bersama host family-nya, dia mengunjungi pantai ini beberapa hari kemudian.
Mauricio dan Estefania, orangtua angkatnya selama dia di Brazil, ingin mengantarnya ke pantai saat Janitra minta izin tadi pagi. Janitra menolak dengan alasan ingin mandiri. Melihat wajah Janitra yang percaya diri, Mauricio dan Estefania pun memahami.
Janitra lanjut berjalan menyusuri trotoar Ipanema. Di jalur itu dia berpapasan dengan banyak orang berpakaian renang. Janitra sendiri mengenakan celana parasut selutut dengan paduan kaus kuning timnas sepak bola Brazil. Dia merasa percaya diri dengan pilihannya.
Beberapa orang bersepeda atau bermain skateboard di jalur di sebelah kanan Janitra. Jalur beraspal dengan gambar khusus sepeda di atas permukannya. Sementara itu kendaraan-kendaraan melaju di jalur di sebelah kanan jalur sepeda. Janitra melihat segerombolan orang berwajah Kaukasiankeluar dari salah satu hotel di seberang pantai. Memang banyak hotel dan resort berjajar di hadapan pantai ini.
Janitra menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar. Sore di Ipanema begitu indah. Di arah barat, Morro Dois Irmaos—The Two Brothers Hill—tampak seperti sepasang tanduk panjang sebelah yang menjulang ke langit. Sepasang bukit itu tampak gelap dengan latar belakang langit senja yang mulai kemerahan.
Janitra mendengar bunyi bola-bola beradu tangan atau kaki di antara samar bunyi deburan ombak pantai. Sore itu memang banyak orang bermain voli dan juga sepak bola pantai.
Sebuah bola sepak tiba-tiba menggelinding ke kaki Janitra. Rambut bergelombang sepunggungnya berayun ketika gadis itu membungkukkan badan untuk memungut bola.
Seorang cowok menghampirinya. Cowok itu mengenakan kaus tanpa lengan. “Obrigado—terima kasih,” ucap cowok itu saat Janitra mengulurkan bola sepak tadi. Suaranya terdengar agak serak dan berat.
Ketika menatap cowok itu, Janitra merasa déjà vu. Dia merasa pernah bertemu cowok itu sebelumnya atau minimal melihat cowok itu. Namun, Janitra masih belum mampu mengingatnya.
“De nada—sama-sama,” balas Janitra.
Cowok itu menjauh begitu mendapatkan kembali bolanya. Janitra mengamati sosok itu pergi dan bergabung dengan sekumpulan remaja cowok yang bermain bola di lapangan. Ada gawang untuk masing-masing tim yang berlawanan, berjarak lebih dari 30 meter. Bendera merah dan kuning sengaja dipasang di pinggir lapangan sebagai tanda. Bendera merah mengisi empat sudut lapangan dan dua titik yang menjadi tepi garis tengah lapangan. Sementara bendera kuning sebagai tanda garis penalti yang berjarak kurang lebih 9 meter dari masing-masing gawang.
Janitra melewati sepetak lapangan voli pantai yang tengah dipakai bermain. Dia melihat dua pasang pria dan wanita bermain voli pantai dengan kaki mereka. Janitra belum pernah melihat hal ini sebelumnya. Para wanita yang bermain di sana tak kalah cekatan dengan para pria ketika menerima bola dengan menggunakan kaki. Mereka juga piawai mengumpan bola sedemikian cantik hingga bola hanya melambung tipis di atas net. Tanpa ragu sang pria melakukan smash layaknya tendangan salto samping. Menyaksikan pertandingan itu membuat Janitra teringat sepak takraw di Indonesia. Secara teknik hampir mirip, hanya beda bentuk bola saja.
Setelah beberapa saat berhenti di pinggir arena voli, Janitra kembali melangkah. Janitra membelokkan langkahnya ke dekat sekumpulan pemuda Brazil yang memainkan alat musik. Beberapa dari mereka menabuh perkusi dan yang lain bernyanyi sambil bergoyang. Orang-orang di sekitar mereka ikut bergoyang, kaki-kaki berpindah-pindah di atas lembutnya pasir Ipanema.
“Bara bara bara. Bere bere bere.” Suara mereka terdengar penuh semangat mendendangkan lagu Bara Bere milik Michel Teló.
Mata Janitra melirik para pemain musik. Mereka selalu ditemui jika kita mengunjungi pantai Ipanema di akhir pekan.
“Janitra!!!” seru seorang gadis dari salah satu lapangan voli.
Sosok gadis dengan rambut ikal sempurna terlihat tak jauh dari posisi Janitra berdiri. Itu dia Beatriz. Gadis itu berjalan mendekati Janitra. Kulit gelapnya tampak begitu eksotis diterpa matahari sore Ipanema.