Menarik kursi untuk pindah ke kelompok baru, Gemma tidak dapat menyembunyikan senyuman kala ia bergabung dengan kelompok tersebut. Perasaan bahagia sedang menyelimuti hatinya, rasa ingin bersorak pun Gemma pendam hanya untuk dirinya sendiri.
"Kenapa lo?" tanya Wisnu yang merasa aneh melihat tingkah Gemma.
Gemma melihat wajah Wisnu dengan senyuman yang belum sempat ia sembunyikan. "Hem, kenapa?" tanya nya, Wisnu hanya bisa menggelengkan kepala, ia berpikir mungkin Gemma sedang berada di dunia khayalan perempuan itu.
Suara pak Mu membuat mahasiswa yang mengikuti kelas Penyutradaraan memperhatikan kedepan.
"Producer, Director, Astrada, Script, Camera, Lighting, Audio, Art, Editor. Kalian harus menentukan ini semua. Saya beri waktu 10 menit untuk kalian menentukan yang ada dipapan tulis" jelas pak Mu. Gemma tentu berharap dirinya menjadi penulis naskah, ia ingin mengeluarkan tulisan-tulisannya agar tidak hanya tersimpan dibuku catatan.
Semua kelompok berunding dalam masing-masing lingkaran.
"Gue mau Gemma Script, terus Wistu Director" tunjuk Vena, "Karena Gemma suka mengkhayal sama nulis, kalau Wisnu karena gue percaya dia bisa direct orang diantara kita" lanjutnya.
Semua mata tertuju pada Gemma dan Wisnu yang memang duduk berdampingan. Wisnu menggeleng tidak setuju, "Gue takut ga bisa" keluh Wisnu.
"Pede aja Nu, gue setuju kalau lo jadi sutradara" sambut Luki. Wisnu pun mengangguk setuju. walau dalam batinnya ia masih ragu.
"Gemma ga ada masalahkan, setuju kalau Gemma jadi script?" Vena melemparkan pertanyaan ke kelompok. Semua menganggukan kepala setuju, menjelaskan tidak ada masalah jika Gemma menjadi penulis naskah.
Dalam waktu yang diberikan pak Mu, kelompok Gemma pun sudah menentukan masing-masing jobdesk* (Pekerjaan).
Gemma mendapatkan kelompok 3, yakni berisikan Vena sebagai Producer, Wisnu sebagai Director, Anggi sebagai Assistant Director, Gemma sebagai Scriptwriter, Abdul sebagai Camera person, Luki sebagai Art, Made sebagai Lighting person, Lila sebagai Audio person, terakhir Vicky sebagai Editor.
Mereka pun mendapat tugas pertama, yakni membuat video singkat dengan judul Kopi politik.
Pak Mu memberikan dialog yang wajib ada dalam adegan tersebut. Hanya 2 pemeran dalam adegan ini, satu orang membaca koran, satunya lagi membuat kopi. Tetapi dalam dialog singkat ini setiap kelompok harus bisa melakukan pengambilan gambar yang menjelaskan jika politik negeri ini bisa terasa pahit dan manis.
"Selesai kelas kita kumpul dulu di lobi, nanti kita bicarakan mau seperti apa jalan ceritanya" jelas Vena sebagai produser.
Gemma pov.
Aku mengeluarkan buku cacatan saat diskusi kelompok. Mencatat semua ide yang mereka keluarkan untuk aku rangkum.
"Menurut lo, jalan ceritanya mau dibawa kemana?" Luki bertanya pada ku.
"Kalau dilihat dari naskahnya, ini lebih ke shot atau gambar sama bagaimana cara direct pemain. Soalnya ga banyak yang bisa gue ubah, kalau Wisnu bagaimana?" nada suara ku terdengar sangat gemetar, takut saran ku ditolak oleh kelompok seperti sebelumnya.
Wisnu terlihat berpikir, "Kita syutingnya mau dimana?"
"Apart kakak gue aja, deket kok dari sini" usul Luki. "Kalau sekarang mau liat juga ayo, gue bawa mobil. Diskusi disana aja, biar Wisnu bisa membayangkan pengambilannya mau gimana" lanjutnya.
Semua menyetujui usul Luki, kami bersembilan akhirnya berjalan menuju parkiran.
Sesampai di apartemen milik kakaknya Luki yang tampak kosong, karena penghuni nya sedang ada jam kuliah.
Apartemen yang tidak terlalu besar, hanya 2 kamar tidur, satu kamar mandi, dapur yang bergabung dengan ruang tv, serta balkon dengan pemandangan jalan tol.
Wisnu sedari tadi berdiri diantara 2 pintu kamar tidur, lalu melirik kearah dapur kecil.
"Gem, tadi gimana jalan ceritanya?" tanya Wisnu pada ku.
"Pemeran A lagi baca koran, terus datanglah si B sambil nanya 'Baca apa?', terus dijawab 'Biasa politik' gitu" jelas ku.
"Oke oke, gimana kalau si B dibikin baru bangun tidur? Settingnya juga pagi hari kan? Jadi si A bisa baca koran disini" tunjuk Wisnu pada sofa di depannya.
Aku mengangguk menyetujui.
"Biar ga teriak juga pas dialog 'Biasa aja, jangan terlalu manis, jangan juga terlalu pahit' biar pesannya sampai gitu Nu" jelas ku.
Aku sedari tadi mengikuti kaki Wisnu melangkah, sedangkan yang lainnya sedang asyik menikmati beberapa gorengan dan cemilan yang sempat kami beli sebelum naik ke lantai 12.
Hanya 8 dari 9 orang yang ikut ke apartemen, 1 orang lagi entah menghilang kemana.
"Aha! Oke gue udah dapat, nanti gue kirim shotnya ke Abdul" teriak Wisnu yang membuat ku kaget. Ternyata tidak hanya aku yang kaget, semua yang sedang makan pun sama kagetnya.
**
Pagi hari ku terganggu karena suara bising dari ketukan pintu. Ku lihat jam masih menunjukan pukul empat pagi, bahkan adzan subuh pun belum berkumandang.
Ketukan semakin menggila membuat ku berjalan dengan kesal membukakan pintu kamar.
"Gem Gem Gem, urgent Gem!" tanpa permisi Ayura memasuki kamar ku.
"Mana laptop lo?!" tanya dengan nada panik khas Ayura. Aku menunjuk kearah ransel pink dust yang tergeletak disamping lemari pakaian.
"Kenapa sih?" tanya ku akhirnya.
"Premiere gue error, haduh tugas Heriko belum selesai lagi" Ayura dengan tidak sabar membuka aplikasi adobe premiere di laptop ku.
"Gem tolong Gem" aku yang sejujurnya masih sangat mengantuk berusaha membantu Ayura menyelesaikan tugasnya. Sesungguhnya tugasnya mudah, hanya membuat video pendek berdurasi 30 detik dengan satu shot.
Sepulangnya dari apartemen kakaknya Luki, aku melihat Ayura dan beberapa temannya mengerjakan tugas dari mas Heri, atau kami memanggilnya dengan nama Heriko.
Jangan tanya aku, aku sudah mengumpulkan tugas tersebut sebelum mereka mulai mengerjakannya. Karena tugas ini diberikan dari satu minggu yang lalu.
"Gem editin dikit, gue ga tau" aku melihat kearah Ayura.
"Tadi sore kenapa ga langsung ngedit? Kan banyak yang bisa"
"Keasikan ngobrol, terus lupa. Gue baru inget kalau Heriko matkul pertama" jelas Ayura.
Aku pun menguap lebar seperti siap menarik serangga kedalam mulut namun badan ku diguncang oleh Ayura "Jangan tidur dulu Gem" aku hanya melirik sekilas kearah Ayura.
"Judulnya apa?" tanya ku siap mengetik.
"Menurut lo apa?" Ayura bertanya balik pada ku. Ya tuhan, bahkan aku belum sadar sepenuhnya, malah ditanya seperti itu.