Hikmat, ayah Adren menunggu Merry di sebuah restoran. Secangkir kopi hitam pesanannya sudah menemaninya sejak sepuluh menit yang lalu dan kini tinggal setengah cangkir. Beberapa kali ia melihat jam tangannya, menunggu kedatangan kekasihnya itu. Handphonenya berbunyi tiba-tiba, panggilan bisnis.
"Halo?
Ya.. Nanti kira-kira jam dua saya ada disana. Saya lagi makan siang sama kawan."
Singkat saja, Hikmat menutup telfonnya, sebab ia melihat Merry dari kejauhan, melangkah masuk ke restoran. Merry, janda berumur 42 tahun yang masih terlihat cantik dan berhati lemah lembut itu menghampirinya dengan anggun, namun dengan raut yang tidak se-ramah biasanya seakan ada yang berkutat di pikirannya. Merry berpakaian rapi sebab ia datang dari Bank tempat ia bekerja untuk bertemu Hikmat. Hikmat menanti di kursinya dengan senyuman. Merry pun duduk di kursi depan Hikmat.
"Cantiknya Bu Merry ini." puji Hikmat. Merry tidak begitu menghiraukan pujian tersebut. Wajahnya tidak se-ceria biasanya.
"Pesanlah.." kata Hikmat sambil tidak berhenti menatapnya. Merry menunduk melirik jam tangannya, tidak bergairah. Hikmat menyadari gelagat itu.
"Merr? Ada apa?"
"Mau aku pesankan apa?"
Merry tetap menunduk dengan ekspresi sama.
"Aku pesankan soto ya? Soto disini enak."
"Enggak usah Mas." jawab Merry, lirih.
"Kenapa Mer? Kamu belum makan kan?"
"Aku cuma mampir kok, hanya sebentar."
"Tapi kan kita janjian makan siang bareng?"
"Aku kemari sebetulnya cuman mau bilang bahwa..
aku mundur aja. Kita enggak usah lanjut berhubungan ya Mas."
"Lho.. Kenapa Mer?" Hikmat terkejut.
"Aku enggak tau kenapa aku enggak bisa berhenti memikirkan kerasnya anak Mas, Adren. Aku juga enggak mau berburuk sangka, tapi aku merasa sikap anak Mas sangat beralasan, meski aku enggak tau itu apa."
"Ya ampun.. Soal anakku, kita bisa bicara kok. Itu bukan masalah."
"Mas.. Aku perempuan yang sudah pernah merasakan berumah-tangga. Rumah tanggaku gagal dan aku enggak mau gagal lagi karena masalah yang tidak bisa diselesaikan. Aku khawatir."
"Enggak ada yang perlu dikhawatirkan kok Mer. Semua baik-baik aja."
"Aku enggak tau apa yang sudah Mas lakukan, apa yang sudah Mas tutupi, tapi.. Aku enggak mau hidup dalam curiga dan buruk sangka. Aku merasa ada yang enggak beres. Aku sudah tua, ingin hidup tenang."
"Ya tapi apa yang kamu curigai? Apa yang buat kamu enggak tenang?"
"Kita jujur-jujuran aja Mas, aku enggak bisa lama. Adren bilang soal hutang Mas sama seseorang, bahkan bilang bahwa Mas orang yang kurang jujur. Berhari-hari aku mencoba mengusir kecurigaanku soal itu, tapi aku enggak bisa."
"Merry.. Itu masalah aku dengan rekan bisnisku, dulu! Dia investasikan uangnya sama aku, dan yaudah.. Namanya juga bisnis, semua bisa terjadi. Perusahaanku dulu bangkrut dan aku memang terlambat mengembalikan modal!"
Merry terdiam, merasa kecewa.
"Jadi itu semua benar?"
"Ya memang! Hal seperti itu biasa dalam dunia bisnis Mer!"
"Entah bisnis atau apa, hutang tetaplah hutang Mas! Harus dibayar! Mau berapa lama Mas nunda? Aku enggak mau terlibat dalam masalah itu! Aku mau hidup tenang, toh aku sendiri sudah berkecukupan soal finansial. Aku cuman butuh teman untuk menghabiskan hidup, dan aku mau dia orang yang jujur."
Hikmat pun terdiam sesaat. Ia menghembuskan nafas, berusaha tenang.
"Ya. Aku pernah gagal dalam bisnis tapi sekarang aku sedang berusaha bangkit, Mer. Aku bukannya enggak mau jujur.. Aku cuman enggak mau kamu tau." jelas Hikmat dengan nada yang mengiba.
"Kalo hubungan ini berlanjut, jelas aku perlu tau Mas!"
"Iya! Mas sudah keliru dalam mengambil sikap. Tapi Mas serius, ini semua bisa diatasi kok."
"Lalu kenapa Adren segitu marahnya?"
"Dia masih muda Mer, belum mengerti apa-apa!"
"Atau sebaliknya! Adren lebih bisa merasa bertanggung jawab daripada Mas sendiri!"
Merry pun berdiri, hendak pergi.
"Mau kemana Mer!?"
"Mas boleh bilang aku matrealistis, atau enggak mau nemenin perjuangan Mas, tapi kejujuran itu buat aku adalah nomer satu, Mas!
Aku duluan! Supirku nunggu!"
Merry berjalan cepat keluar restoran dimana supirnya menunggu di sisi jalan tanpa masuk ke parkiran. Tubuh gempal Hikmat Hikmat tidak mampu mengejar Merry, sehingga Merry lebih dulu naik ke mobil dan pergi begitu saja. Kini Hikmat berdiri di parkiran mobil, terengah-engah, disaksikan oleh tukang parkir yang terdiam bersandar di salah satu mobil pengunjung.
----Kantor Note FM----
"Jadi?"
"Jadi apa?" Rendy bersandar sambil scrolling instagram, tidak bergairah.
"Jadi lo lebih cocok yang mana? Keren-keren semua kok. Terus enggak tau kenapa, cakep-cakep juga." kata Reza.
"Belum tau gue."
"Pilihlah.. Gue suka tuh si Denok, yang cewek tapi medok banget! Jawa gaul abis dia, referensi musiknya juga keren."
"Hmm.. Ya mayan lah dia."
"Atau yang orang Bandung, yang kalo ngomong aksennya lucu abis, daya tarik tersendiri tuh! Terus orangnya luwes gitu, santai dan asik."
"Terlalu nyunda. Kurang Jakarta, takut enggak relate sama gue."
"Hmm.. Atau yang cakepan? Yang.. siapa namanya? Nindya? Yang blo'on-blo'on lucu gitu."
"Udah ada yang kayak gitu Bos!"
"Bener juga sih, tapi dia cakep, menjual gitu dan.. Kayaknya bisa ngimbangin lo."
"Hmm.. Yaa.. Mungkin bisa dipertimbangkan."
"Atau yang bikin gue ngakak dalem hati si yang anak Sukabumi. Keren dia joke-nya, meskipun agak.. riskan."
"Ah dia kan Under 3 menit."
"Tapi suaranya keren, dan dia tau mau ngomong apa. Bukan basa-basi chit-chat yang enggak ada isinya gitu kayak beberapa peserta."
"Terlalu berani juga bahaya."