Hikmat, berada di lantai 2, di dalam sebuah ruangan di sebuah ruko yang ia sewa sebagai kantor broker-nya. Di bawah ada dua orang broker yang juga bekerja untuknya.
Hikmat tampak lesu, merasakan kegalauan, bak anak remaja yang sedang patah hati karena ditinggal kekasihnya. Ya, Merry meninggalkannya dua hari yang lalu, yang mana cukup membuatnya tidak bergairah, merasa sendu dan tidak bisa tidur. Kantung mata Hikmat pun membesar kanan dan kiri, emosinya jadi tidak stabil. Ia mengenggam Handphonenya, dilihatnya sebuah postingan di facebook Merry, dimana Merry foto bersama anak perempuannya yang sudah SMP dan mantan suaminya. Mereka terlihat bahagia di dalam foto, dan Hikmat menerka-nerka kemungkinan, direbus oleh rasa cemburu. Perasaannya semakin tidak karuan.
"Aku ingin bersama orang yang jujur!" Kalimat Merry itu terngiang-ngiang di telinganya, menghantui dirinya. Wanita yang ia kasihi menganggapnya penipu dan tidak mempercayainya lagi. Tak kuasa menahan cemburu, Hikmat menggeletakan Handphonenya di meja dan menyeka wajahnya yang tampak kusam.
Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dari luar. itu adalah Surya, salah satu broker yang bekerja dengannya.
"Bos.. Ini, tetangga kenalan saya, dia sudah sampai di bawah!" kata Surya.
"Suruh kemari aja langsung!" jawab Hikmat.
"Pak.. Silakan masuk! Sok mangga!" kata Surya pada tamunya di luar.
Hikmat berdiri, bersiap menyambut orang itu. Lalu seorang Bapak-bapak umur 58 tahun masuk ruangan. Ia mengenakan baju batik panjang dan kopiah, rambutnya sudah agak memutih, terlihat dari jambangnya. Bapak itu biasa dipanggil Pak Asep, pemilik tanah yang akan dijadikan partner bisnis oleh Hikmat.
"Assalamu'alaikum.." kata Pak Asep.
"Wa'alaikumsalam Pak.." jawab Hikmat ramah.
"Ini Pak Asep, pemilik tanah yang tempo hari saya kasih tau itu lho Bos!" kata Surya sambil merangkul lengan Pak Asep dengan halus. Pak Asep terlihat sungkan, dengan segala kedusunannya. Ketika berjabat tangan dengan Hikmat, Pak Asep membungkukkan badannya lebih rendah meski ia lebih tua, sebab ia orang yang sopan dan rendah hati.
"Mangga, calik Pak!" Kata Hikmat mempersilakan Pak Asep duduk. Ada dua kursi di depan meja Hikmat, Pak Asep menduduki salah satunya dan Surya duduk di sebelahnya.
Pak Asep memiliki tanah seluas 4 are di kaki gunung Gede Pangrango, di dekat sebuah objek wisata air terjun di Sukabumi. Tempat itu Hikmat sasar untuk membangun sebuah penginapan dan hotel untuk para pelancong dan turis yang berwisata. Tempatnya teduh, sejuk, hijau, sebagaimana sebuah tempat di kaki gunung. Untuk itulah Pak Asep datang ke kantor Hikmat, untuk membicarakan kerja sama. Awalnya karena Hikmat menemukan seorang investor dari Jakarta, yang berminat untuk membuka tempat wisata baru di daerah Sukabumi. Tanpa berlama-lama, Surya yang juga adalah warga pribumi menyebut nama Pak Asep, tetangganya yang kebetulan memiliki tanah di tempat yang sesuai dengan kriteria keinginan Hikmat. Beberapa minggu yang lalu, Surya datang ke rumah Pak Asep untuk menawarkan kerja sama jangka panjang, namun Pak Asep mesti memikirkannya terlebih dahulu, dan disinilah ia sekarang, ingin menukar tanahnya dengan mimpi yang Hikmat dan kawan-kawannya tawarkan. Namun, Pak Asep datang dengan serba ketidak tahuan soal hukum dan pertanahan. Ia hanya datang menggadaikan hartanya, berharap bertemu orang-orang baik yang dapat ia percaya dan membantu perekonomiannya tanpa harus menjual tanah peninggalan orangtuanya.
"Jadi.. Pak Asep udah dijelaskan soal kerjasamanya kan sama Kang Surya?"
"Oh iya sudah Pak." jawab Pak Asep, lugu.
"Sudah jelas? Atau ada yang perlu dijelaskan lagi?" tanya Hikmat.
Pak Asep membungkukkan lagi badannya, mengangguk, merapatkan bibirnya. Dua telapak tangannya menempel, ia tempatkan diantara lututnya. Ia tersenyum sungkan, berharap Hikmat dan Surya mewajarkan keterbatasan pengetahuannya.
"Boleh Pak.." kata Pak Asep, jawabnya teduh.
"Jadi.. Kita mah datang dengan itikad baik Pak, kebetulan kami butuh tanah, lalu kami dengar juga Pak Asep butuh uang untuk kebutuhan kesehatan, jadi ini mah istilahnya saling tolong menolong, tapi menghasilkan juga, begitu."
"Udah berobatnya tapi Pak?" tanya Surya, berpura-pura simpati.
"Udah, tapi ya mesti cek terus ke dokter bolak-balik." jawab Pak Asep.
"Nah, makanya Pak, ini mah istilahnya mengakali supaya gimana caranya kami bisa usaha di tanah Bapak, tapi Bapak enggak harus jual aset, apalagi itu kan peninggalan leluhur Bapak. Tapi.. Untungnya buat Bapak, Bapak tetep kebagian keuntungan dari usaha yang akan berjalan di atas tanah Bapak nanti." jelas Hikmat lagi. Pak Asep hanya senyum-senyum canggung, merasa senang dengan penawaran Hikmat.
"Itu teh mau dibikin apa Pak rencananya?" tanya Pak Asep.
"Ada investor dari Jakarta, dia punya PT dan selalu bikin semacam tempat wisata sama penginapan besar. Jadi nanti ada hotel, penginapan keluarga, restoran, kolam renang, terus area permainan. Nah nanti Bapak punya saham di usaha terebut karena itu berdiri di tanah Bapak."
"Saham itu, ibaratnya Bapak juga jadi pemilik perusahaan." lanjut Surya.
"Ohh begitu.." Pak Asep takjub.
"Tapi aman kan ya? Kalau seandainya.. Ehm.." Pak Asep terlihat kebingungan mengungkapkan sedikit kekhawatirannya.
"Aman!" Kata Surya dengan yakin.
"Aman Pak, nanti surat tanahnya dipegang sama notaris, selama kita kerjasama. Jadi bukan saya yang pegang. Notaris itu yang ngurus surat-surat dan perjanjian antara Pak Asep dan investor nanti."
"Ohh hehe.. Iya kalo gitu." Pak Asep mengelus lututnya.
"Ya punten ya Pak ini mah saya bukannya su'udzon apa gimana, saya mah emang enggak tau apa-apa, cuman supaya lebih jelas saja, maklum udah tua." lanjut Pak Asep, bicara dengan hati-hati.
"Oh enggak apa-apa atuh Pak.. Nanti juga notaris bakal jelasin lagi kok." kata Hikmat sambil bangun dari kursinya, dan berjalan menuju lemarinya untuk mengambil map berisi surat perjanjian kosong dan pena.
"Yang penting Bapak ngerti intinya, kami izin untuk usaha di atas tanah Bapak, dan Bapak kebagian keuntungan perusahaannya nanti, dengan catatan, surat tanahnya dipegang oleh Notaris." jelas Hikmat sambil mencari berkas di lemari.
"Iya, jelas.. jelas.." jawab Pak Asep dengan tersenyum tenang.
"Nanti ada kok kita kasih uang tanda keseriusan, itu seperti uang perjanjian lah! Bisa untuk menutupi kebutuhan rumah sakit Pak Asep dulu." lanjut Surya. Pak Asep mengangguk senang.
"Pokoknya tenang aja kan Bapak juga kenal sama saya, tetangga dari dulu." kata Surya. Sementara itu Hikmat berbalik dan berjalan menuju kursi dengan map berisi beberapa surat.
"Saya juga titip sertifikatnya lah sama Bapak-bapak, mohon digunakan dengan baik, soalnya kan saya ada anak juga, masih SMP. Mudah-mudahan kerjasamanya bisa nerus sampe anak saya bisa kuliah nanti, begitu." ujar Pak Asep. Hikmat mendengar kata-kata Pak Asep barusan, ia langsung teringat dengan Marwan, ayah dari Nuril yang pernah ia curangi juga. Langsung Hikmat dilanda kalut, jantungnya berdebar-debar. Dalam hati ia tahu bahwa yang kini dilakukannya pada Pak Asep juga adalah akal-akalan untuk perlahan menguasai tanah milik Pak Asep.
Jantung Hikmat berdegup kencang, ia tahu ia akan mungkin akan mengulang lagi kesalahan yang sama seperti di masa lampau, yang membuat anaknya, istrinya dan Merry men-capnya sebagai penipu. Bedanya, kali ini ia melakukannya pada seorang Bapak yang sudah renta dan butuh bantuan biaya tanpa ingin menjual asetnya. Batin Hikmat bergejolak, ia bertanya-tanya dalam hati, "Apa mungkin?" katanya. Hikmat melangkah lagi, tangannya bergetar, jantungnya berdegup semakin tidak beraturan. "Apa mungkin aku tega mengakali kepolosan seorang Bapak yang sudah sakit-sakitan ini? Dan membenarkan kata orang-orang yang kusayangi bahwa aku adalah seorang penipu?"
"Apa..
Mungkin.."
nafas Hikmat tertahan.
GEDEBRUG!!!
"Astagfirullah!" Pak Asep nyebut.
"Boss?!" Surya agak berteriak.
Mereka terkejut, loncat dari kursinya masing-masing. Hikmat jatuh, pingsan telungkup di lantai.
----Di rumah Nuril----
Nuril sedang menerima panggilan telfon dari client-nya. Raut wajah Nuril terlihat menahan kesal. Client yang menggunakan jasanya kali ini, agak bawel dan banyak permintaan, bahkan saat ini menuntut Nuril untuk me-revisi hasil kerjaannya. Di meja makannya yang kosong, tempat dimana ia biasa bekerja, ada laptopnya menyala dan di layarnya ada design untuk sebuah event club mobil. Sang ketua club lah yang saat ini sedang menflon Nuril.
"Enggak bisa gitu Kang, kalo Akang request kayak gitu harganya beda.. Ditambah lagi waktunya udah mepet..
Ya Akang aja mintanya banyak dan waktunya sedikit, saya juga udah kasih harga buat temen, tapi enggak segampang itu Kang ngerjainnya!"
Nuril melihat jam dinding, menghitung dalam hati.