"Jadi.. sampe sini aja Dre?"
Pak Jaja menatap Adren. Hari ini hari terakhir training untuk para penyiar baru.
"Ya, mereka udah sama-sama siap kok, Pak."
"Saya yang belum siap, Dre."
"Yailah si Bapak, saya nanti juga sering-sering kemari kok."
Suasana agak sedikit haru, mengingat sore itu adalah sore terakhir Adren di Radio Sirih FM. Adren sedang berpamitan dengan Pak Jaja, yang sudah bekerja dan membimbingnya selama setahun lebih selama bekerja di radio itu.
"Kamu masih bagian dari radio ini kok Dre, kalo kangen radio ini, kangen siaran, kangen suasana di kantor, kemari aja, nanti Bapak urus."
"Wah, Bapak baik banget.. Makasih Pak!"
"Kamu udah saya anggap anak sendiri Dre!"Pak Jaja menatap Adren.
"Ya ampun, segitunya ya Pak? Anak Bapak kan banyak, ada lima."
"Iya tapi cuma kamu yang enggak minta duit Dre." Pak Jaja menepuk-nepuk pipi Adren. Adren tertawa.
"Yaudah.. Minta duit Pak, buat ongkos bensin!" canda Adren.
"Ah pergi sana, saya tidak kenal kamu anak muda!" balas Pak Jaja.
Mereka tertawa bersama, lalu bersalaman untuk terakhir kalinya.
Dari sekian banyak penyiar yang pernah dan sedang bekerja di radio tersebut, Adren adalah orang yang cukup dekat dengan Pak Jaja, mungkin karena Adren punya masalah di rumah dan lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Ketika remaja sebaya Adren pulang ke rumah dan bertukar pikiran dengan orangtua mereka masing-masing, Adren menetap di kantor lebih lama dan Pak Jaja selalu jadi partnernya dalam bertukar pikiran.
"Sehat-sehat Pak!"
"Cepat lulus dan sukses Dre! Semoga jadi pelukis pasir terkenal!" kata Pak Jaja.
"Ameeen..!" Adren melangkah ke motornya yang kini ia tukar dengan motor scorpio tua seharga lima jutaan.
"Pulang Pak! Assalamualikum!"
Adren berencana pulang ke rumah, membawa segala keberaniannya untuk meminta bapaknya membayar hutang pada keluarga Nuril. Mungkin kali ini dengan lebih keras dan sedikit paksaan, bahkan jika taruhannya dia tidak akan pulang ke rumah dan bertemu bapaknya lagi. Ia memacu motornya yang berisik itu melewati jalanan kota, sambil harap-harap cemas tidak mogok di jalan.
----Di Rumah----
Adren berhenti depan rumah, mendapati garasi kosong tanpa mobil ayahnya, dan gelap. Semua penerangan di rumahnya mati seperti tidak berpenghuni. Adren pun memasukkan motornya dan menyalakan lampu garasi. Ia masuk dengan kunci yang ia punya sendiri, dan menyalakan semua lampu. Ia berjalan pelan mengelilingi isi rumah, memastikan memang tidak ada siapapun. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mengambil sertifikat rumah di kamar ayahnya. Di atas lemari, ada sebuah koper yang ia ingat sering digunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen. Adren bahkan ingat sampai ke nomor kuncinya.
"0-0-0-0, 0-0-0-0.."
Koper terbuka. Setelah pencarian yang tidak begitu sulit, Adren akhirnya menemukan sertifikat-sertifikat penting tentang rumahnya di dalam sebuah map tak bernama. Ia pun segera menutup dan menaruh koper di tempat semula, seolah tidak pernah kesana malam itu, lalu membawa dokumen-dokumen itu ke atas, ke kamarnya.
Adren pergi mandi, sudah lama ia tidak mandi di rumah, dengan sabun dan peralatan lengkap rumahan. Sampai akhirnya bisa rebahan di kasur empuknya di bawah lampu canggihnya yang ia setel menjadi warna biru. Ia menghubungkan musik dari handphonenya ke speaker yang tertanam di lampunya dan memainkan lagu-lagu reggae klasik senyap-senyap. Sambil rebahan ia membuka google untuk mencari tahu cara menguangkan sertifikat rumah dengan cepat, entah itu dijual atau gadai. Namun disela-sela pencariannya, ada telfon masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menebak-nebak dalam hati sebelum mengangkatnya.
"Nomor siapa ini.."
Adren pun mengangkat telfon, dan ia berdiam, sampai si penelfon bicara duluan.
"Halo?" kata si penelfon, suara laki-laki yang tidak Adren kenal.
"Ya?"
"Halo selamat malam!"
"Ya, Halo..?"
"Ini betul nomornya Adren Suwarno?"
"Ini siapa ya?"
"Ini Reza."
"Reza?" Adren mengingat-ingat. Ada beberapa Reza yang ia kenal salam hidupnya. Dia tidak tahu pasti itu Reza yang mana.
"Reza mana ya? Tau nomor ini dari mana?" tanya Adren.
"Ini Reza yang Note FM! Saya dapet nomer kamu dari CV kamu di lamaran kemarin!"
"Ohh.." sontak Adren bangun dan duduk di sisi kasur.
"Inget saya kan? Saya yang seleksi kamu kemarin waktu test tiga menit." kata Reza.
"Ya, saya ingat Mas! Waduh maaf saya pangling!" Adren melirik jam dinding di kamarnya. Jam setengah 8 malam saat itu, ia agak heran. Kendati demikian Adren menganggap telfon itu adalah sebuah kabar baik, mengingat hanya peserta yang lolos yang akan dikabari.
"It's okay Bro Adre!"
"Bro.. Dia manggil gue Bro! Ini tanda kita sebentar lagi akan jadi parnter kerja!" Kata Adren dalam hati sambil senyum.
"Gue panggil Adre aja enggak apa-apa kali ya?" tanya Reza yang gaya bicaranya langsung berubah lebih santai.
"Enggak apa-apa Mas!" jawab Adren sambil merasakan degup jantungnya berdebar lebih kencang.
"Oke, dan enggak apa-apa kan ya gue ganggu malem-malem? Lo lagi enggak siaran kan?"