-----------------------------------Gedung Khusus Penyakit Jantung--------------------------------
Hikmat terbaring sendirian di salah satu ruangan ICU di sebuah rumah sakit Negeri di Sukabumi. Di badannya terpasangan infus dan alat pendeteksi jantung. Pagi itu, biasanya keluarga, sanak saudara pasien datang, mengurus menyuapi pasien. Tidak dengan Hikmat, yang sendirian, meringkuk di ranjang di pojok ruangan dengan tatapan kosong.
Handphone Hikmat berbunyi. Surya, partnernya menelfon sejak semalam, memastikan perjanjian kerjasama dengan Pak Asep tetap berjalan. Beberapa kali Surya meminta Hikmat melimpahkan kuasa kepadanya untuk mengurus perjanjian tersebut, namun Hikmat tidak merespon dan mengiyakan. Ia merasa sangat berat untuk meneruskan perjanjian itu. Bahkan predikat penipu atau mafia tanah, yang orang-orang terdekatnya berikan padanya, membuat tidurnya tidak nyenyak semalam. Hikmat pun agaknya mulai menyadari, bahwa dua orang teman sekaligus partner bisnisnya, bahkan tidak terlalu peduli dengan kondisi kesehatannya. Dengan ditinggalkannya ia sendirian di rumah sakit, ia sadar bahwa mereka hanya peduli dengan uang. Juga Adren dan Merry, dua orang terakhir yang paling dekat dengannya pun tidak disana. Perasaan Hikmat pilu, kesepian, ketakutan. Dan dering handphone masih menyala, menunggu jawabannya. Tangan Hikmat pun merembet di kasur, menggapai handphone di sebelah kepalanya.
"Hmm?" Hikmat mengangkat telfon dan bicara pada Surya.
"Boss! Gimana? Bisa saya lanjut dulu sampe Boss sehat?" tanya Surya, untuk kesekian kalinya sejak kemarin saat ia sadar.
"Enggak. Nanti saja." jawab Hikmat, lalu ia menutup telfonnya lagi. Lalu Hikmat memiringkan badannya, menghadap tembok, ia ingin lebih leluasa bersedih tanpa ada yang melihat. Wajahnya mulai bergetar, otot wajahnya bereaksi dan warnanya memerah. Ia menangis sepelan mungkin.
-------------------------------------------------Di rumah------------------------------------------------
Adren terbangun di kasurnya. Jam delapan pagi saat itu. Handphone Adren bergetar, membuatnya terbangun. Ia menggeliat, mengumpulkan kesadaran. Garis-garis cahaya menyorot ke salah satu sisi kamar, dimana debu-debu halus menyebrang melayang-layang. Dan getar handphonenya masih menderu, menunggu jawabannya. Tangan Adren pun merayap mencomot handphone di sebelah pinggangnya.
"Halo Mon?" jawab Adren pada Mona yang menelfon.
"Dre.. Ke kampus enggak?"
"Hmm.. Pengen sin tapi takut ditagih ide." sahut Adren dengan suara berat.
"Yaudah ke kampus aja! Nanti gue sama Ernest bantuin cari ide! Jam sembilan ya! Di kantin!"
"Ehem.."
Adren menutup telfon. Ia mencumbu bantalnya lagi beberapa detik, lalu bangun dari kasurnya. Kepalanya lebih ringan hari ini, sebab beberapa beban berkurang. Ia rasakan itu seiring langkahnya keluar kamar, turun ke bawah untuk mencari segelas air.
Keadaan rumah masih sepi, tidak berubah sejak semalam. Dengan mata yang masih sembab dan diantara gemericik air dispenser yang sedang memenuhi gelasnya ia melihat sekeliling.
"Sejak kapan rumah se-damai ini.." katanya dalam hati.
Tanpa bertanya kemana Sang Bapak, Adren kembali naik ke atas sambil menenggak minumnya, sampai sudah habis ketika ia sampai di kamar. Setelah itu ia men-charge handphone-nya, lalu mandi, dan siap-siap ke kampus, seperti seharusnya mahasiswa normal lainnya.
Semua sudah siap. Pakaian rapih, tas berisi binder, buku gambar dan map berisi sertifikat rumah, ia berdiri depan motornya, merasakan cuaca hari itu yang kurang menyenangkan. Ditambah lagi motornya yang sudah tua bisa ngadat kapan saja. Adren mencari cara untuk menikmati perjalanan ke kampus. Ia membuka aplikasi Radiocraft yang ia install semalam dan memasang handsfree di telinganya. Lalu Adren membuka aplikasi tersebut, dan memasuki sebuah room berjudul "Obrolan Siang", milik seorang Penyiar rekomendasi. Adren masuk room dan sang penyiar menyambutnya,
"Halo semua yang baru masuk, selamat siang, apa kabarnya masih bersama Lilly disini!"
Radio sudah standby di telinganya dan dengan beberapa kali usaha percobaan menyalakan motornya, ia lalu berangkat.
-----------------------------------------------Di perjalanan------------------------------------------------
Adren merasa aneh dengan apa yang ia dengar di ruang siaran yang tadi dia pilih. Adren mendengar sang penyiar hanya mengobrol dengan para listener yang sepertinya sudah dikenal oleh sang penyiar. Tidak ada konten, hanya membacakan chat dari para pendengarnya yang merupakan obrolan internal yang tidak Adren mengerti dan sama sekali tidak bisa ia nikmati. Adren pun memberhentikan motornya di sisi jalan, dengan wajah heran. Ia kembali membuka handphonenya dan berusaha mencari room lain.
"Siaran enggak jelas!"
Adren memasuki room lain di daftar penyiar rekomendasi, lalu memasuki room bernama "Musik Siang." yang ketika ia dengarkan, hanya room berisi lagu-lagu pop yang sebenarnya kurang ia suka.
"Musik doang nih? Kalo mau denger musik doang ngapain gue buka App ini!" gerutu Adren.
Adren mencari room lain, lalu menemukan room berjudul "Bucin is not a crime". Dengan penuh harapan Adren masuk room tersebut, dan mendapati konten siaran itu adalah para pendengar konsultasi kepada sang penyiar laki-laki dan penyiar itu memberikan wejangan-wejangan asmara.
"Hhh.. Setidaknya ada konten yang bisa didenger!" kata Adren. Adren pun kembali melanjutkan perjalannya, dan menghabiskan perjalannya itu dengan nasihat-nasihat percintaan dari room yang ia dengar.
--------------------------------------------Di Kantin Kampus---------------------------------------------
Adren duduk sendiri, sementara Mona dan Ernest belum datang. Ia sedang memeriksa dokumen-dokumen rumahnya sambil membuka google untuk mencari tahu bagaimana cara menggunakan sertifikat-sertifikat itu sebagai anggunan. Handsfree masih menempel di telinganya, dan ia asyik senyum-senyum geli mendengar isi siaran dari room wejangan asmara tadi.
Yang Adren dengar saat ini,
"Oke ada satu pertanyaan dari Nina, salah satu galawers siang ini.. Katanya..
Kak! Gimana caranya bikin dia enggak selingkuh lagi? Ini kedua kalinya aku diselingkuhin! Aku udah berusaha bikin dia bertahan karena aku enggak mau kehilangan dia!
Ya ampun.. Kasian banget Nina! Menurut aku sih udah tinggalin aja, untuk apa bertahan di dalam cinta yang menyakitkan! Relakan aja, kelak kamu akan dapat yang lebih baik lagi, yang bisa menjaga hatinya dan hati kamu, begitu Nina.."
Adren tertawa geli, lagi.
"Aduh puitisnyaaa.. Haha.. ! Gampang banget ngasih wejangan kayak gini! Dia pikir dia siapa!? Dilan!???" kata Adren berkomentar sendiri.
"Oke.. coba kita tanya.." Niat jahil Adren muncul. Ia mulai mengetik sesuatu dengan akun yang namanya ia samarkan, lalu tak lama si penyiar membacakannya.
"Ada pertanyaan baru nih dari Adrea, yang enggak ada fotonya. Katanya begini,
Kak.. Aku sama pacarku enggak dapet restu ayah untuk menikah, tapi kami masih berusaha! Doain ya kak!
Doain moga ayah cepat meninggal!
Aduh yaampun.. Wah.. Gimana ya, kalo begini bingung juga sih!" si penyiar terbata-bata, menganggap pertanyaan tersebut serius.
Sementara itu Adren menepuk lutunya, dan tertawa terbahak-bahak sendiri.
"Hahhahahaha! Ayo dong jawab dengan puitis!" ejeknya, bicara sendiri lagi. Sontak Adren tersadar, akan sangat aneh jika orang melihatnya tertawa sendiri. Sekejap ia menghentikan tawanya sambil melihat kanan-kiri. Ketika itu tak sengaja Adren melihat Nuril berjalan dari jauh, ke arah ruang Kaprodi. Adren melambaikan tangan sambil tersenyum, dan Nuril membalasnya dengan kepalan tangan memberi isyarat semangat.