Sound of Spring

MichelleJ
Chapter #2

Bab 01

Menikmati semilir angin sore yang berhembus halus melalui celah jendela kamarku yang terbuka, angin hangat yang berasal dari terpaan sinar matahari yang perlahan berubah menjadi dingin sebab hari perlahan berganti malam, tugas matahari perlahan tergantikan oleh sang rembulan. Angin sejuk menerpa wajah serta rambutku, ditemani alunan musik klasik menenangkan hati yang berasal dari sebuah speaker bluetooth di sisi lain jendela, yang tersambung dengan playlist favoritku kala sore hari menjelang malam seperti ini.

Aku suka sekali mengirup udara di sore hari, entah mengapa aku pun tak tahu. Padahal biasanya orang lebih menyukai udara di hari yang baru saja dimulai, alias pagi hari.

Mungkin karena jika di sore hari seperti ini akan ada beragam wewangian yang ikut terhembus angin sore, misalnya saja wangi kue kering buatan tante Cindy yang baru matang seperti ini. Membuatku ingin mencicipinya. Atau mungkin wangi beragam masakan rumahan yang berasal dari para ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahku yang mereka masak untuk keluarga masing-masing.

Intinya aku suka suasana sore hari, apalagi ketika mendengar kesibukan orang-orang yang mungkin baru pulang kerja maupun sekolah di sore hari, atau suara gongongan anjing yang sedang berjalan-jalan sore dengan majikannya, juga suara bising kendaraan yang berlalu lalang di luar sana.

Ada banyak kisah yang tercipta pada sore hari seperti ini, kisah para manusia yang tengah bersantai setelah hari yang sibuk, kisah para manusia yang baru memulai kesibukannya, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Hal seperti ini sedikit mengobati kesepianku, sebab dengan ramainya suasana sekitar yang tercipta membuatku merasa tidak sendirian.

Suara dering telepon menginterupsi musik klasik yang tengah mengalun merdu, membuatku segera beranjak untuk mengambil telepon genggamku yang kuletakan di pinggir kasur.

Setelah berhasil meraihnya, aku memilih duduk di pinggir kasur, kemudian aku langsung menempelkan layar telepon ke telingaku tanpa tahu siapa yang menelepon.

"Halo?" sapaku setelah beberapa saat terlewati tanpa ada yang berbicara, hanya terdengar deru nafas teratur yang mungkin berasal dari sang penelepon.

"Hey, it's me." Suara berat khas laki-laki yang telah melalui masa pubertas dengan aksen barat yang kental langsung memenuhi indra pendengaranku.

Ah.. Ternyata yang menelepon adalah Auxentius Devonshire, teman masa kecilku. Kami sudah sangat lama tidak bertemu, namun kami memang masih saling berhubungan via telepon seperti ini. Dan memang selalu dia yang menelepon duluan, untuk menyesuaikan jadwalnya yang padat di sana.

"Oh, hai Axen. Tumben menelepon pagi-pagi begini, kau sedang senggang?" tanyaku yang keheranan mengapa pagi hari seperti ini ia tidak sibuk seperti biasanya.

Antara tempatku dengan tempatnya memang berbeda beberapa jam, bahkan hampir setengah hari, maka dari itu di tempat tinggalnya saat ini masih pagi hari, sedangkan di sini waktunya telah terlewat setengah hari.

Teman masa kecilku itu memang bukan orang Indonesia sepertiku, ia hanya pernah tinggal di Indonesia beberapa tahun dan kebetulan pada waktu itu dia dan keluarganya menempati sebelah rumahku sehingga kami menjadi tetangga. Kami sering bermain bersama, entah itu dia yang berkunjung ke rumahku ataupun sebaliknya, maka dari itu kami bisa berteman.

Untuk masalah bagaimana kami berbincang, Axen sudah cukup fasih berbahasa Indonesia karena ayahnya memang memiliki cabang perusahaan di sini sehingga mudah baginya belajar bahasa Indonesia, terlebih ia juga pernah tinggal di Indonesia dan pernah secara langsung berinteraksi dengan orang Indonesia, seperti misalnya denganku. Sedangkan aku tentu tidak sulit belajar bahasa Inggris, terlebih kakekku itu orang Amerika jadi aku pun sudah terbiasa berbahasa Inggris sedari kecil.

"It's afternoon now." jawabnya yang membuatku semakin mengerutkan kening, bingung.

"Hah? Kau pikir aku lupa? Aku tahu betul jika sekarang di tempatku sore, maka pasti di tempatmu pagi. Kenapa kau bilang sekarang di tempatmu sore hari juga? Atau kau melindur ya? Kau mengigau?" tanyaku menyuarakan kebingunganku. Mungkin saja ia masih setengah tidur.

Terdengar kekehan ringan darinya, "Of course not, Star. Can you go outside now?" pintanya yang lagi-lagi membuat keningku semakin berkerut bingung.

"Uh? For what, Xen?"

"Come on."

Meragu, namun akhirnya aku memilih menuruti perkataannya. Beranjak berdiri kemudian segera melangkah keluar dari kamarku menuju pintu depan, terus melanjutkan langkahku ke halaman rumah sampai tiba-tiba ada yang menubruk tubuhku dari arah depan dan langsung mendekap tubuhku erat.

Indra penciumanku langsung menangkap aroma shampoo dengan wangi mint yang segar, parfum beraroma maskulin yang lembut, juga sepercik aroma terpanggang matahari. Aroma yang memenuhi indra penciumanku ini seketika membuatku nyaman, terlebih lagi pelukan hangat yang diberikan oleh sosok yang mengeluarkan aroma tersebut, juga suara beratnya yang sangat tidak asing di indra pendengaranku.

"I'm back, Star."

Kedua lenganku dengan reflek membalas pelukannya tak kalah erat, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya.

Oh, astaga. Sejak kapan teman masa kecilku jadi lelaki yang sangat gagah seperti ini? Tubuhnya kurasa benar-benar atletis, terasa ototnya benar-benar terbentuk di beberapa bagian tubuhnya yang tak sengaja bersinggungan dengan tubuhku.

"Do you miss me?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutnya ketika ia melepaskan dekapannya setelah beberapa saat lamanya kami saling berpelukan erat melepas rindu.

"I miss you. So much." jawabku seraya kembali memeluk tubuhnya.

Kekehan ringan kembali terdengar dari belah bibirnya, "Kau ketagihan memelukku ya?Bagaimana? Sekarang tubuhku sudah cukup atletis 'kan? Hasil olah tubuh setengah tahun belakangan nih."

Lihat selengkapnya