Apa yang kalian pikirkan jika mendengar kata pondok pesantren?
Orang-orang atau bahkan santri memanggil tempat itu penjara suci. Mereka diharuskan menetap dan beraktivitas seperti biasa di sana. Jauh dari orang tua, hidup mandiri, dan harus pintar manfaatin waktu juga uang bulanan.
Dan kini, Nabel harus tinggal di tempat itu lagi.
Ya, lagi.
Semasa SMP, dia menghabiskan hidupnya di pondok selama 3 tahun. Harus beradaptasi seorang diri dengan teman baru yang sama sekali tidak dia kenal.
Susah?
Banget.
Bahkan, tiap hari Nabel nangis setiap habis sholat. Bersimpuh di hadapan Rabb-nya sembari mengadu perihal jalan hidupnya yang terasa tidak sesuai seperti kemauannya.
Dia ingin merasakan hal baru yang dilakukan oleh remaja sebayanya di luar sana. Naik motor, main bareng di tempat jauh, pergi ke bioskop, cafe, toko baju, dan masih banyak lagi. Nabel ingin merasakan semua itu tapi tidak bisa.
Gadis itu harus menetap di sini lagi sesuai keinginan orang tuanya. Ingin membantah tapi tidak bisa. Dia tak ingin dicap sebagai anak durhaka. Toh, semua itu akan kembali kepada dirinya lagi. Jalani aja meski enggan.
Nabel menghela napas panjang begitu netranya menemukan kamar yang akan menjadi saksi bisu kisah remajanya di sini. Dia mencoba tersenyum, menguatkan diri juga menahan air mata yang hendak tumpah. Ditatapnya sang ibu yang berdiri di sampingnya sembari membawa satu tas yang berisi barang bawaannya.
“Masuk yuk, Ma,” ajaknya lalu melangkah masuk. Wanita itu mengikuti langkahnya di belakang.
Kini, Nabel tinggal mencari loker juga tempat tidurnya. Nomor 15. Selang beberapa menit, dia menemukannya. Ternyata, loker baju dan tempat tidurnya cukup dekat. Dia mengulas senyum tipis.
Ditaruhnya tiga buah tas yang dia bawa berisi perlengkapannya untuk tinggal di sini. nabel segera mengeluarkan isinya. Menata pakaian di dalam lemari juga buku di loker yang ada di atasnya. Untuk sepatu, tas, dan barang untuk mandi dia taruh di atas lemari.
“Ditata dulu semuanya. Tak tungguin di sini.”
Mama Nabel duduk di salah satu tempat tidur milik santriwati lain. Nabel baru sadar jika di dekatnya ada 3 santriwati yang memperhatikan gerak-gerikku sedari tadi.
Tepat ketika dia mengeluarkan parfum dan hendak memasukkannya ke dalam lemari, indra pendengarannya menangkap pembicaraan mereka.
“Pede banget bawa parfum.”
“Emang. Biarin aja. Masih baru ini nanti juga kena sita.”
“Lenjeh!”
Mati-matian Nabel menahan diri. Hari pertama aja udah dapat sindiran. Dia jadi tidak yakin hari-hari ke depannya akan seperti apa nanti. Pasti tidak sesuai ekspetasi.
Dia mengunci lemari lalu menyimpan benda itu di loker buku. Berbalik badan lantas menunduk mendekati ibunya.
“Sekalian pasang sprei kasur sama bantal biar nanti tinggal istirahat,” ucap Mama Nabel lagi.
“Iya, Ma.”
Tangan Nabel menyambar sprei juga sarung bantal lantas naik ke tempat tidur bagian atas.
Pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah kasur lama yang sedikit kusam di bagian luar tergeletak tak diurus di sebelah kasurnya. Karena Nabel santriwati baru di sini, kasur yang akan dia tempati masih baru. Dia bergegas memasang sprei juga sarung bantal.
Tiba-tiba, indra penciumannya mencium bau aneh. Pesing. Kayak bau ompol. Dia mengendus pelan dan terkejut ketika bau tersebut berasal dari bantal milik dipan tetangganya.