Seminggu lamanya Nabel mengikuti acara yang diselenggarakan oleh yayasan. Mereka menyebutnya Ta’aruf-an. Aslinya Pekan Ta’aruf Santri. Ta’aruf sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya kenalan. Di sekolah formal, mereka menyebutnya MOS—Masa Orientasi Siswa.
Kepala Nabel pusing. Setiap pertemuan pasti tak luput dari yang namanya ceramah. Butuh waktu lama untuk mencerna ucapan mereka itu. Tidak sekali dengar langsung nyangkut di otak. Bahkan ada beberapa kalimat yang Nabel catat di buku karena menurut dia penting.
Biasanya jika masa-masa seperti ini diisi dengan berbagai kegiatan yang membuat tubuh mereka lelah. Tapi di sini beda. Santri hanya perlu duduk dan mengikuti acara yang mereka sajikan. Selain bosan, Nabel juga merasa tidak bebas. Bukannya Pekan Ta’aruf harusnya diisi dengan acara yang membuat pertemanan para santri terjalin?
Nabel menggeleng. Mengenyahkan pikiran buruk yang terlintas di otaknya. Mungkin ada maksud lain dari semua ini. Toh, dia hanya harus mengikuti saja. Bebas bersantai pula meski terkadang merasa kepanasan karena tidak ada kipas angin.
“Oke. Silakan beri tepuk tangan untuk Ustadz Kasno.” MC kembali berseru di atas panggung.
Nabel sontak memejamkan matanya. Gadis itu sedikit tidak beruntung hari ini. Dia duduk berdekatan dengan speaker yang terhubung dengan microfon. Suara MC yang penuh semangat berhasil membuat kantuknya seketika lenyap.
Semua santri bertepuk tangan. Menyambut turunnya ustadz Kasno—Ketua yayasan dari atas panggung, tak terkecuali Nabel. Meski enggan, dia tetap memaksakan diri.
Acara hari ini mencapai akhir. Usai MC menutup acara dan turun dari atas panggung, para santri beranjak bangkit. Santriwan dan santriwati memisahkan diri, tentunya. Serambi masjid adalah tempat berkumpul santriwati selepas acara ini selesai. Berkumpul secara mengelompok dengan orang yang tidak mereka kenal. Nabel pun demikian.
Sementara santriwan berkumpul di dalam masjid. Sisanya di halaman atau teras depan kamar mereka. Karena letak masjid yang berdekatan dengan kamar santriwan, mereka leluasa bisa berkumpul di mana pun. Asal masih bisa dipantau oleh IS.
IS sendiri merupakan singkatan dari Ikatan Santri. Organisasi mirip seperti OSIS namun mereka yang menjadi bagian ini diharuskan mengelola 2 tempat sekaligus—asrama dan sekolah. Sedangkan OSIS hanya di sekolah saja. Untuk tugas, tentunya IS lebih banyak bekerja apalagi jika mendekati akhir tahun. Banyak acara yang diselenggarakan oleh yayasan.
Nabel berada di kelompok 14. Kelompok satu terakhir dari belakang. Berisikan 11 anggota. 9 di antaranya merupakan santriwati baru dan sisanya adalah IS. Di sini, IS tidak hanya berlaku untuk santri Aliyah—setara dengan SMA. Tapi juga santri Tsanawiyah—setara dengan SMP. Anggotanya pun campur—Mts dan MA.
Nabel menoleh ke sisi kanan. Ada Naila—teman kamarnya dan Afi—teman kamar sebelah. Hanya mereka berdua yang Nabel kenal di kelompoknya. Beruntung kemarin dia sudah berkenalan dan akrab dengan keduanya.
“Buat penutupan Pekan Ta’aruf besok, masing-masing dari kelompok harus ngirim 2 anggota untuk nyanyi di atas panggung,” ucap salah seorang gadis yang merupakan anggota IS. Nabel dan yang lain mengangguk paham. Dia sempat melirik nametag yang terpasang di jilbabnya. Dhiyaa namanya. Santri Tsanawiyah kelas 9.
“Ini milihnya mau acak apa kami pilihin?” tanya gadis lainnya yang juga anggota IS. Santri Aliyah kelas 12. Puji namanya.
“Pilihin aja, Mba.” Salah satu anggota kelompok Nabel menjawab dengan intonasi lirih. Puji dan Dhiyaa segera berunding dengan salah satu temannya lagi.
“Di sini yang baru ikut lomba sedikit siapa?” Dhiyaa bertanya kepada anggota kelompoknya. Sontak, Nabel, Afi, Naila, dan 2 santriwati Tsanawiyah mengangkat tangannya di udara. Sisanya sudah mengikuti banyak lomba.
“Kamu sama kamu, ya? Gimana?”
Puji dengan entengnya menunjuk Nabel dan Afi. Kedua gadis itu bertatapan sebentar dengan netra membulat.
Nabel tak percaya jika dirinya akan ditunjuk. Selama ini, dia paling kalem di kelompoknya. Jarang berbicara dan mengutarakan pendapat. Selalu setuju dengan keputusan IS—tidak ingin ambil pusing. Dia lantas meringis.
“Mau, ya?”
“Tapi suaraku jelek, Mba,” sela Nabel seraya memberinya tatapan. Dia sangat berharap jika dirinya ikut acara yang terakhir ini.
“Gak apa-apa. Biar semuanya berpartisipasi. Yang lain udah partisipasi dua kali. Baru kalian yang sekali. Iya, kan?” Yang angkat tangan dengan Nabel tadi mengangguk mantap secara kompak. Membuat Nabel menelan saliva susah payah.
Nasyid
Lomba terakhir sebagai penutup acara ini adalah nasyid. Dan lagu yang dipilih hanya satu.
Maulana oleh Nisa Sabyan.
***
Selepas sholat Ashar, Nabel langsung pergi menuju tempat cuci baju.
Di sana sudah berjejer rapi ember berisi pakaian kotor milik santriwati. Tiap kran sudah ada ember di bawahnya. Nabel pun demikian.
Dia melepas kerudung dan menyelampirkannya di atas pintu. Roknya dia angkat hingga mencapai atas lutut, menampilkan celana olahraga panjang berwarna hitam berpadu orange. Sengaja dia memakai celana agar kakinya tidak terlihat. Dan rok yang dia angkat tidak basah terkena air nanti.
Lantas Nabel mulai mencuci pakaiannya. Sendirian.
Derap langkah kaki mulai terdengar. Disusul bunyi cekikikan dan tawa khas anak perempuan. Halaman pondok yang semula sepi mendadak ramai karena santriwati baru pulang dari masjid—habis sholat Ashar. Beruntung tadi Nabel izin ke kamar mandi dan balik lebih awal dari mereka.
“Sendirian, Bel. Udah lama?”
Ambar datang usai menyapa Nabel. Gadis itu tersenyum sebentar sebelum kepalanya mengangguk.
“Baru aja. Kok lama di masjid?”
“Biasa. Ustadz Kasno habis ceramah.” Mereka tertawa setelah itu.