Nabel mengeratkan tali tas punggungnya.
Kini, dia sudah berdiri di depan gerbang dengan senyum terpatri. Pemandangan yang tersuguh di depan mata berhasil membuatnya bersemangat. Pepohonan rimbun, rumput segar, lapangan bola yang cukup luas, kolan Tungkai kakinya mulai melangkah riang.
Letak sekolah yang akan dia kunjungi sangat strategis. Persis di belakang bangunan pondok lama. Tak bertingkat namun nyaman dipandang mata. Nabel sangat menyukai sekolah barunya.
Dia menarik napas panjang.
Udara pagi ini sangat segar. Alam sedikit berkabut membuat Nabel menggosok kedua tangannya di udara—mencari kehangatan. Itu karena pesantren yang Nabel tempati dekat dengan gunung. Dekat pula sama alun-alun kota.
Hanya ada sedikit santri yang berlalu lalang di sini. Mengingat hari masi terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Sebagian pasti masih berada di kamar. Bersiap dan berias.
Nabel terbiasa dengan suasana seperti ini. Di sekolahnya dulu, dia selalu berangkat pagi agar dapat tempat duduk bagian depan. Bangku deretan depan-lah yang membuatnya dapat berkonsentrasi. Mendengarkan penjelasan dari guru dengan jelas dan lugas. Kalau di belakang, yang ada Nabel bersenda gurau dengan teman-temannya.
“Assalaamu’alaikum.”
Gadis itu melangkah masuk. Sedikit terkejut karena di kelas sudah ada orang. Netranya menelisik sekitar. Bangku incaran di deret depan sebagian sudah terisi anak laki-laki. Hanya tersisa bangku pojok saja. Dia pun melangkah mendekatinya.
“Hei! Bangku depan buat anak laki-laki.”
Seseorang menegur Nabel ketika dia hendak menaruh tasnya di bangku pojok. Kepalanya tertoleh. Sosok gadis yang tidak dia kenal berjalan mendekatinya.
“Eh, iyakah? Anak perempuan gak boleh duduk depan?” Dia mengedikkan bahunya tak tahu.
“Nanti kamu cewek sendiri di depan. Belakang aja. Sebelahku kosong tuh.” Nabel melihat bangku kedua dari belakang bagian tengah. Kosong. Bangku lain pun banyak yang kosong. Namun, karena Nabel tidak ingin berdebat, akhirnya gadis itu nurut.
Keduanya berjalan menghampiri meja masing-masing.
Nabel duduk di bangkunya. “Nama kamu siapa?” tanyanya pada gadis tadi. Sang empu menoleh.
“Zentri Zulfa. Panggil aja Zentri.” Nabel mengangguk paham. Ketika tangan Zentri terulur, Nabel segera menjabatnya lengkap dengan senyum.
“Alfani Dian Anabella. Panggil aja Nabel.”
“Oke, Nabel. Salam kenal.”
“Iya.”
Jabat tangan mereka terlepas.
Nabel memilih untuk menyibukkan diri dengan buku miliknya—menulis cerita. Karena tidak diperkenankan membawa media elektronik ke pondok, Nabel terpaksa menulis alur ceritanya di buku tulis. Agar nanti ketika masa libur tiba, dia tinggal nyalin tulisan tangannya ke laptop.
Selama libur panjang kemarin, Nabel mulai aktif menekuni dunia kepenulisan. Mencoba berbagai lomba cerpen yang tidak dipungut biaya. Meskipun tidak menang, setidaknya Nabel punya pengalaman. Dia juga menulis ceritanya di dunia orange.