Sowon

Bella Puteri Nurhidayati
Chapter #5

[5.] Hukuman dan Pengaduan

Pagi ini, Nabel telat berangkat sekolah. Lantaran mengantri kamar mandi dan kehabisan air, dia harus menerima hukuman dari anggota Ikatan Santri.

Keliling lapangan sebanyak 5 kali.

Nabel ingin menangis rasanya. Dia baru saja mandi. Tubuhnya sudah wangi tapi disuruh berkeringat lagi. Ini apa bedanya sama gak mandi? Nabel jadi menyesal mandi pagi tadi. Kalau dia tau akhirnya akan seperti ini, lebih baik tidak usah mandi. Sia-sia pengorbanannya.

Belum lagi lapangan di sekolah ini luasnya gak main-main. Nabel jadi pesimis. Dua kali putaran aja sepertinya dia sudah tidak sanggup. Nyeri di perutnya harus dia tahan sampai hukumannya selesai. Nasib ... nasib.

Beruntung ada banyak siswi yang dihukum. Jadi, Nabel tidak perlu malu. Usai menaruh bukunya di dekat tiang bendera, dia pun lari. Mengitari lapangan bersama siswi lain.

Namun, ada salah satu siswi yang menarik perhatiannya. Dia memakai jilbab warna-warni juga selempang di bahu kanannya. Nabel tidak bisa melihat tulisan di selempang dengan jelas karena sedang berlari. Tapi yang dia tau, gadis itu sedang menjalani hukuman berat dari pihak pondok.

Semalam tidak ada panggilan dari Ikatan Santri. Kegiatan pondok berjalan lancar seperti biasa. Berarti gadis itu dihukum dan dimarahi oleh anggota Ikatan Santri saja. Kata teman kamar Nabel, terkadang jika ada santriwati yang dihukum berat pasti harus memakai jilbab warna-warni dan juga selempang.

Kasusnya pun beragam. Ada yang ketahuan pacaran di area pesantren, kabur dari pondok, ketahuan masuk ke asrama putri atau sebaliknya, dan meng-upload foto di media sosial tanpa memakai hijab. Itu untuk kategori berat. Yang melanggar akan dipermalukan di tengah-tengah asrama dengan suara lantang oleh Ikatan Santri. Ditonton oleh seluruh santriwati. Pasti malu banget ada di posisi itu. Tapi, hukumannya setimpal dengan perbuatannya.

Tidak hanya itu. Bahkan dia harus memakai jilbab pelangi ke manapun dia melangkah, kecuali kalau dijenguk. Ke sekolah pun harus dipakai. Jadi santriwan bisa tau kalau dia sedang dihukum. Ditambah suruh lari mengelili lapangan tiap pagi meski datang awal. Kayak hari ini contohnya. Capek banget pasti. Malu juga.

Kalau untuk hukuman ringan paling disuruh bersih-bersih pondok, bersihin kamar mandi, tempat cuci piring, dapur, atau yang lain. Tidak disuruh memakai jilbab pelangi, selempang, dan dipermalukan di depan banyak santriwati.

Itu untuk hukuman santriwati. Kalau untuk santriwan kayaknya lebih kejam dari ini.

Nabel pernah mendengar cerita Rizal. Katanya, waktu itu ada santriwan yang melanggar dan dihukum berat. Ketahuan kabur lewat tembok belakang rumah Ustadz—terhubung dengan jalan rumah sakit bagian kejiwaan dan merokok di dekat pesantren. Alhasil, dia disuruh berendam di kolam ikan tengah malam selama beberapa jam. Tanpa memakai atasan tapi masih diperbolehkan memakai celana pendek. Boxer.

Selain itu, dia juga disuruh pakai rompi pelangi dan selempang dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Sama seperti santriwati. Ke manapun dipakai bahkan ke sekolah juga dipakai, kecuali kalau dijenguk. Disuruh berkeliling waktu Muhadoroh—kelas berpidato yang diadakan tiap hari Sabtu malam dan berpidato di sana. Tak peduli yang menjadi penonton itu santriwan atau santriwati. Plus digundul alias botak sampai tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Kinclong. Bahkan kutu rambut enggan mampir di sana karena licin.

Lucu kalau lihat mereka dihukum. Tapi Nabel masih punya hati nurani. Dia tidak akan menertawainya ketika berpapasan. Mungkin jika sedang ghibah bersama teman lain barulah Nabel tertawa puas.

Jahat? Tentu saja tidak.

Toh, bukan cuma dia yang begitu.

Nabel mengatur napasnya yang tersenggal. Dia berhasil mengelilingi lapangan sebanyak 5 kali putaran. Hukumannya selesai. Nabel dan santriwati lain yang dihukum segera berbaris rapi. Mendapat wejangan sebentar lalu bubar—masuk ke kelas masing-masing.

Sembari mengelap peluh di dahinya, Nabel berjalan menuju kelasnya. Suasana begitu tenang dengan lantunan ayat Al-Qur’an yang mengalun indah di indra pendengarannya.

Nabel masuk lewat pintu belakang. Duduk di bangku kedua dari depan bagian tengah. Kalau ada siswa yang terlambat datang ke kelas, mereka pasti mendapat tempat duduk di deretan depan. Mayoritas penghuni kelas ini lebih suka duduk di belakang apalagi bersandar di dekat tembok. Tempat yang pas untuk tidur.

“Psst! Nabel!”

Kepala Nabel menoleh dengan gerakan pelan. mendapati Laela yang duduk di barisan sebelah kanannya nomor 3 dari depan. Alis Nabel terangkat sebelah, menunggu Laela kembali berbicara.

Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Nabel. Matanya menatap sekeliling was-was. “Tugas kelompoknya udah selesai. Nanti aku sama kamu yang numpuk ke guru Biologi.” Nabel mengangguk paham dengan mulut sedikit terbuka—membentuk huruf ‘O.’

“Terus Ambar gimana? Gak nyantumin nama dia berarti?” tanya Nabel penasaran.

Lihat selengkapnya