Sowon

Bella Puteri Nurhidayati
Chapter #7

[7.] Dekat dengan Akbar

Paginya, Nabel bangun dengan mata sembab. Tatapannya sayu, padahal dunia menyambut kedatangannya kembali. Nabel seakan-akan kehilangan semangat hidup karena masalah kemarin.

Dia sudah puas menangis. Mencurahkan isi hatinya lewat air mata dan coretan diary. Nabel ingin bercerita kepada Sasa atau Nabila. Tapi dia sadar kalau mereka juga punya masalah, bukan hanya Nabel saja. Alhasil, Nabel mengurungkan niatnya untuk bercerita.

Gadis itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Pagi ini, dia kembali piket sendiri. Jadwalnya ambil makan. Nabel ingin mengajak Rina tapi gadis itu masih antri mandi. Waktu Nabel cari, Rina malah sudah masuk ke kamar mandi. Bikin kesal memang. Akhirnya, Nabel ambil sendiri.

Untuk masalah kemarin, ternyata Hindun dan Ambar benar-benar menepati ucapannya sendiri. Kedua gadis itu menjauhi Nabel hanya karena Nabel membantu pekerjaan mereka. Bukannya mendapat ucapan terima kasih, Nabel malah mendapat pengucilan seperti ini. Benar-benar tidak adil. Nabel tidak habis pikir dengan isi otak mereka.

Aneh memang tapi begitulah kenyataannya.

Nabel meraih tas punggungnya yang berwarna biru muda. Saat netranya melirik jam dinding, ternyata jam baru menunjukkan pukul 06.45 WIB. Nabel belum makan, tapi perutnya tidak lapar. Sarapan hari ini tidak membuat selera makannya meningkat. Mungkin ada baiknya dia berangkat sekolah lebih awal. Tapi sebelum itu, Nabel ingin meluruskan kesalah pahaman dulu. Daripada dibiarkan berlarut-larut. Yang ada Nabel malah semakin dibuat susah.

Tungkai kakinya melangkah mendekat ke arah Hindun dan Ambar. Kedua gadis itu tampak akrab, padahal sebelumnya hubungan mereka biasa saja. Mereka menyadari keberadaan Nabel di kamar ini karena posisi mereka berdekatan.

Sedari tadi, keduanya terus memperhatikan gerak-gerik Nabel. Baik Hindun maupun Ambar masih setia mengabaikan gadis itu. Berpura-pura mengobrol atau melakukan hal lain di dekatnya tanpa punya tujuan yang jelas. Tapi Nabel paham. Mereka sedang menunggu Nabel meminta maaf terlebih dahulu atas kejadian kemarin.

Nabel bingung. Egonya memerintah untuk tidak meminta maaf sebelum mereka meminta maaf kepadanya terlebih dahulu. Akan tetapi, akalnya memerintah untuk meminta maaf kepada mereka terlebih dahulu meskipun Nabel tidak berbuat salah. Dan akhirnya, Nabel memilih opsi terakhir.

Malu sebenarnya jika Nabel meminta maaf terlebih dahulu. Harga dirinya dipertaruhkan di sini. Tapi untuk hal seperti ini, Nabel harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia hanya ingin hidup damai di pondok tanpa terlibat permasalahan sepele yang berujung rumit seperti ini.

“Ambar, Hindun, maafin aku!”

Nabel bersimpuh di dekat Hindun. Tawa keduanya hilang begitu mendengar ucapan Nabel barusan. Mereka kompak menoleh ke arah Nabel yang memasang raut wajah bersalah. Masih tidak menyangka jika Nabel meminta maaf kepada mereka terlebih dahulu.

Hindun tetap memasang wajah datar. “Minta maaf kenapa?” balasnya jutek. Nabel hanya bisa menghela napas panjang mendapat respon demikian.

“Kemarin aku nyuci piring lagi. Padahal kalian yang mau nyuci.”

Ambar melempar pandangan ke arah sekeliling. Enggan menatap Nabel apalagi menjawab ucapannya. Dia lebih memilih diam dan membiarkan Hindun yang membalas ucapan Nabel.

“Lain kali jangan gini lagi. Aku sama Ambar jadi gak piket. Nanti anak kamar malah jadi ghibahin kita lagi. Gak becus piketlah, inilah, itulah.” Nabel menundukkan kepalanya.

Mungkin, di sini memang Nabel yang salah. Tapi niat Nabel baik. Dia tidak ingin mereka dimarahi anak kamar karena tidak kebagian makan pagi.

Tadi pagi ketika Nabel ambil makan, ibu dapur memarahinya karena telat naruh tempat makan. Anak kamarnya mendapat makanan sisa tapi untungnya nasi yang didapat tidak keras. Sayur hanya sedikit, tidak semua kebagian. Untuk lauk masih sisa banyak.

“Iya. Maafin aku, yah. Aku yang salah.”

“Hm.”

“Dimaafin gak?” Mata Nabel menatap penuh harap ke arah Hindun.

Sebenarnya, Nabel dan Hindun memiliki hubungan yang cukup baik. Keduanya sering mengobrol di luar kamar ketika malam semakin larut. Hindun orangnya asik dan humble. Dia juga sering bercerita tentang harinya kepada Nabel.

Tapi karena kejadian kemarin, hubungan mereka langsung retak begitu saja.

Hindun menatap Nabel sebentar. tak lama kemudian, dia tersenyum. Nabel ikut tersenyum karenanya.

“Iya. Aku juga mita maaf, yah. Aku salah karena kemarin ngomongin kamu yang engga-engga.” Nabel mengangguk maklum. Tanpa Hindun kasih tau pun Nabel sudah tau karena dia dengar sendiri obrolan mereka kemarin.

Lantas, tatapannya beralih ke arah Ambar. “Maafin aku ya, Mbar. Sama yang kerja kelompok kemarin juga.” Ambar menoleh. Dia ikut melempar senyum ke arah Nabel.

“Iya, Bel. Gak apa-apa. Aku juga minta maaf, yah.” Nabel mengangguk. Lega sudah mendapat permintaan maaf dari mereka.

Setelahnya, mereka bersalaman sebentar. Hindun juga mulai akrab dengan Nabel lagi. Nabel tersenyum.

***

Pelajaran Matematika ternyata cukup menguras tenaga dan pikiran. Beruntung Nabel bertemu mata pelajaran itu di jam pertama. Coba saja kalau di jam terakhir. Sudah dipastikan Nabel tidak akan mendengarkan penjelasan sang guru karena tertidur.

Lihat selengkapnya