Sowon

Bella Puteri Nurhidayati
Chapter #8

[8.] Dihukum

Adzan Ashar berkumandang. Nabel yang kedatangan tamu bulanan mendadak tersenyum lebar.

Saat ini, dia tengah asik membaca novel di dipan atas. Sesekali dia menutup buku bacaannya dengan bantal ketika teman kamar menatapnya. Nabel akan mengalihkan perhatian mereka dengan bermain pulpen atau pura-pura melanjutkan cerita di buku tulis.

Sebenarnya, IS putri tidak memperbolehkan santriwati membawa novel selain tema religius. Jika ada yang membawa novel selain tema itu, mereka akan menyimpannya dengan sangat baik. IS biasanya berkeliling, menggeledah loker setiap beberapa bulan sekali. Dadakan. Tapi sejak kedatangan Nabel ke pondok ini, belum pernah IS melakukan pemeriksaan.

Nabel membaca novel genre romance-sad. Tentunya tanpa sepengetahuan pembimbing kamar yang sedang mengobrol di dipan bawah, dekat pintu. Kemarin, tidak sengaja Nabel menemukan tumpukan novel dan komik di lemari temannya—Valiza. Karena tau masa-masa haid akan membosankan, akhirnya Nabel meminjam novel milik Valiza dengan catatan tidak boleh sampai ketahuan pembimbing kamar. Bisa disita nanti.

Selama ini, Nabel membaca novel hasil meminjam. Dia tidak pernah beli. Selain tidak punya uang, dia juga tidak pernah ke toko buku. Jauh. Nabel tidak akan mau pergi jika tidak ada yang mengajaknya. Jangankan ada yang mengajak. Teman sekolahnya saja rumahnya jauh-jauh dari rumah Nabel.

Allahu akbar, allahu akbar

Asyhadu anlaa ilaaha illallaah ....

Asyhadu anna muhammadarrasulullah ....

Hayya ‘alashalaat

Hayya ‘alal falaah ....

Qadqaa matishalaat, qadqaa matishalaat

Allahu akbar, allahu akbar

Laa ilaaha illallah ....

Nabel tersenyum senang. Anggota kamarnya tersisa yang sedang haid sama sepertinya. Lantas, dia kembali membaca lanjutan novel tadi. Terlalu hanyut sampai tidak sadar dipanggil oleh temannya sebanyak dua kali.

“Bel, pinjem mukena.”

Gadis itu tersentak kaget. Reflek, tangannya mengambil bantal guna menutupi novel yang dia pinjam. Nabel tersenyum.

“Itu di depan loker. Pakai aja.”

Zahra, gadis yang akhir-akhir ini menjauhinya tanpa sebab tiba-tiba datang meminjam mukena. Nabel tidak mempermasalahkan hal itu. Dia kira, Zahra marah padanya karena suatu hal yang tidak dia tau. Jika Zahra membutuhkan bantuannya, dia akan datang kepada Nabel. Nabel pun akan melakukan demikian sebagai timbal balik. Bukankah begitu yang Zahra inginkan?

Yang Nabel tau, teman kamarnya kebanyakan memiliki sifat itu. Datang di saat butuh dan pergi ketika sudah tidak diperlukan. Kalau dipikir-pikir, sakit sebenarnya mendapat perlakuan demikian. Tapi, Nabel tidak punya hak untuk berbicara mengenai hal ini kepada mereka ataupun Zahra. Bagaimanapun juga, Zahra berhak bersikap demikian.

Nabel melihat Zahra shalat di depan pintu belakang. Terhalang oleh lemari milik Ambar hingga tubuhnya tak terlihat di mata pembimbing kamar. Pembimbing kamar Nabel ada 3 dan semuanya adalah anggota IS. Kakak kelasnya juga. Dan hari ini, mereka sama-sama haid meski beda hari di awal keluarnya darah.

Tidak ingin membuat Zahra merasa tak nyaman, Nabel memilih untuk melanjutkan baca novel. Dia terkekeh melihat narasi aksi berisi humor karena perilaku si tokoh utama.

“Itu yang di dipan atas haid?”

Salah satu pembimbing kamar bertanya kepada Nabel. Dengan gerakan cepat, kepalanya menoleh ke sumber suara. Wajahnya berubah cengo. Takut jika pembimbing kamarnya itu bertanya sembari berjalan ke arahnya.

Nabel tersenyum guna menutupi rasa takutnya. “Haid, Ukh.” Ukhti adalah panggilan untuk saudara perempuan. Di pondok ini, Nabel dan santriwati lain menggunakan panggilan itu untuk kakak kelasnya. Lebih sopan katanya. Daripada memanggil mereka dengan sebutan ‘Mba.’ Nabel pernah dapat teguran karena memanggil mereka dengan sebutan itu.

Sang empu mengangguk paham. Teman kamarnya yang sedang haid juga ditanyai demikian olehnya. Sampai tiba giliran Zahra berikutnya, gadis itu memasang wajah santai sembari menyelampirkan mukena Nabel di gantungan depan lemari.

“Zahra suci? Kok sholat di sini?”

Zahra menoleh. “Tadi habis izin taghawat, Ukh.” Agak curiga karena sebelumnya Zahra juga memberinya alasan demikian. Izin buang air besar. Namun, pembimbing kamarnya itu memilih untuk percaya dan tidak menanyainya lagi.

“Jangan lupa diambil name tag-nya ke seksi tarbiyah.”

Jika santriwati izin tidak shalat di masjid, mereka diharuskan untuk menyerahkan name tag ke seksi tarbiyah. Bagian IS yang menangani permasalahan terkait keagamaan seperti mengabsen kehadiran shalat, menyuruh santriwati datang ke masjid tepat waktu untuk shalat, serta menghukum dan menasehati santriwati yang melanggar aturannya. Selain menyerahkan name tag, mereka diminta untuk menuliskan nama di buku catatan. Hal itu sebagai bukti bahwa mereka benar-benar izin. Akan ada IS lain yang memantaunya.

Na’am, Ukh.” Zahra mengiyakan ucapan pembimbing kamarnya. Lalu, gadis itu pergi keluar dari kamar. Entah pergi ke mana, Nabel tidak tahu.

Karena mendapat pertanyaan dari pembimbing kamarnya tadi, Nabel jadi tidak was-was ketika membaca novel. Berulang kali kepalanya tertoleh ke arah mereka yang asik mengobrol sembari mengumbar tawa.

Lihat selengkapnya