Segerombolan mahasiswa berpakaian jas hijau terlihat mencolok di tengah-tengah padatnya siswa berseragam biru muda.
Nabel yang baru saja menginjakkan kaki di koridor sekolah sedikit terkejut melihat kedatangan mereka. Tumben sekali ada orang luar yang berkeliaran di sekitar sekolahnya. Mahasiswa lagi. Nabel merasa akan ada yang beda hari ini.
Dia mendekap erat buku yang dipegang. Berjalan cepat melewati gerombolan mahasiswa yang asik bercengkerama.
Ada satu pria yang menarik perhatiannya. Kulitnya putih bersih, tampan, sedikit mungil karena tingginya sama dengan Nabel, alim, dan berwibawa. Nabel bisa melihat dan menebak semua itu hanya dalam sekali pandang. Semoga saja benar.
Selain itu, di saat teman-temannya mengobrol ngalor-ngidul, dia terlihat khidmat membaca buku di tangannya. Terkadang ketika teman sejenisnya menyenggol lengan pria itu dengan sengaja, dia akan meresponnya dengan senyuman. Atau jika ada temannya yang bertanya dan meminta pendapat, pria itu akan menjawab sebisanya.
Sudut bibir Nabel terangkat. Dia suka tipe pria seperti itu. Sangat langka di dunia ini.
Begitu langkahnya tiba di depan kelas, Nabel langsung masuk dan duduk di bangku depan nomor dua bagian tengah. Tempat duduk andalannya tepat di bawah kipas angin.
Usai menaruh buku di dalam laci, Nabel mengeluarkan buku tulis yang berisi cerita buatannya. Dia mulai menulis, melanjutkan naskahnya yang belum selesai sembari menunggu bel berdenting dan guru masuk ke kelasnya.
Karena asik bergelut dengan dunianya, Nabel tidak sadar jika seseorang masuk ke kelasnya. Berdiri di depan siswa kelas X MIPA 1 lengkap dengan seulas senyum. Tangannya memegang buku shalat. Berisi deretan shalat sunnah, niat, dan doanya.
“Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” sapanya lantang.
Nabel tersentak kaget. Buru-buru dia menutup bukunya dan mengamankannya di dalam laci. Kedua tangannya bertumpu di atas meja dengan pandangan lurus.
“Wa’alaaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh,” jawab semua murid kelas X MIPA 1 kompak, tak terkecuali Nabel.
Netranya membulat dalam beberapa detik. Dia adalah pria yang Nabel lihat tadi. Astaga! Mimpi apa Nabel sampai bisa bercengkerama dengannya? Nabel tau jika pria itu berbicara kepada seluruh penghuni kelas ini, bukan hanya kepadanya saja. Tapi Nabel senang.
“Nama saya Hari Dwi Prabowo. Panggil saja Hari atau Kak Hari. Mahasiswa IAIN Purwokerto jurusan pendidikan bahasa Arab.” Dia menjeda ucapannya sebentar. Menulis namanya di whiteboard menggunakan spidol hitam milik kelas.
Hari Dwi Prabowo. Nama yang bagus, batin Nabel. Sedari tadi, gadis itu tiada henti mengumbar senyum. Semoga saja pria itu tidak sadar jika Nabel terus menatapnya. Entahlah. Nabel merasa tentram melihat wajahnya.
“Maaf karena saya datang sendirian ke sini. Ini kelas X MIPA 1, yah?” Hari menengok ke arah pintu, memastikan jika dia tidak salah masuk.
“Iya, Kak,” jawab sebagian anggota kelas yang berjenis kelamin perempuan.
Hari tersenyum. “Alhamdulillah kalau gitu.” Dia kembali berdiri di tempat tadi. Buku yang dipegang tergulung rapi di tangannya. Hari tidak sadar melakukan hal itu. Buru-buru dia bentangkan bukunya kembali dan menaruhnya di atas meja guru.
“Teman saya masih di luar. Ada sesuatu yang harus dibicarakan sama guru di sekolah ini.” Sebagian murid mengangguk paham.
“Saya dan teman saya akan mengajar kalian dalam kurun waktu sebulan. Menggantikan guru yang mengampu mata pelajaran pesantren. Beliau akan memantau cara mengajar kami. Dan selama itu, saya harap kalian mau kerja sama dengan kami.” Hari menatap penuh harap ke arah calon anak didiknya.
“Baik, Kak,” jawab Nabel dan dua teman kelasnya yang lain. Nabel tidak tega bersikap cuek kepada orang lain sekalipun orang itu baru datang di hidupnya.
“Oke.” Hari jadi semangat mengajar. Terlebih ketika 3 temannya masuk lewat pintu belakang. Membiarkan Hari berbicara sendiri di depan.