Sowon

Bella Puteri Nurhidayati
Chapter #10

[10.] Curhat ke Allah

Sore menjelang Maghrib, Nabel baru selesai menjalankan hukuman.

Capek sekali. Apalagi habis mendorong gerobak penuh berisi sampah ke tempat pembuangan akhir. Lokasinya dekat dengan dapur, tapi jika ke sana membawa gerobak harus putar balik. Nabel tidak bisa memasukkan gerobak sampah ke dapur. Bisa-bisa kena amuk pondok nanti.

Belum lagi sampah nasi dan lauk pauk yang begitu banyak dan berceceran di tempat cuci piring. Nabel menahan hujatan mati-matian dalam hati. Dia kesal karena kejadian tempo lalu yang membekas di pikirannya.

Nabel membuang sampah nasi ke samping kamar Nusaibah. Lokasinya dekat dengan area putra. Sebelah kanan kamar itu adalah jalan kecil yang terhubung dengan kamar mandi santriwan. Bisa dibilang, kamar Nusaibah dan kamar mandi putra saling berdekatan. Terpisah oleh kolam ikan yang airnya sangat keruh. Isinya ikan lele, katanya. Warna airnya hijau.

Ada 2 teman yang membantunya mengangkat kresek hitam besar berisi sampah nasi. Dibantu mereka, Nabel mengeluarkan isinya ke kolam ikan. Tatapan jijik terpancar dari wajah mereka. Apalagi kaki mereka yang terbalut kaos kaki dan sandal ikut terkena cipratan air kolam. Jijik sekali.

PLUNG!

Nabel mendelik ke sumber suara. Begitupun kedua temannya itu—Naila dan Ulfa.

Tidak sengaja indra pendengarannya menangkap bunyi benda jatuh ke dalam kolam. Di sekitar mereka tidak ada orang. Tidak mungkin juga itu bunyi sampah nasi yang masuk ke kolam ikan. Mengingat mereka menuang sampah secara bersamaan. Bunyinya pasti berurutan.

Lantas, tatapan mereka terarah pada kamar mandi putra. Ada suara guyuran air dari balik tembok itu. Nabel jadi curiga. Suara tadi berasal dari kamar mandi santriwan. Yang artinya, benda yang jatuh itu adalah kotoran manusia.

Nabel bergidik ngeri. Buru-buru dia angkat kresek yang sudah kosong untuk dibuang ke tempat sampah. Mereka segera berlalu dari sana. Takut jika kelamaan, mereka akan kembali mendengar suara itu.

“Ya ampun, jijik banget iyuh!” Ulfa masih saja bergidik ngeri karena kejadian tadi. Nabel yang berjalan di sebelahnya hanya bisa terkekeh meski aslinya dia juga merasa jijik.

“Iya koh. Jorok banget,” timpal Naila. Ekspresi wajahnya tampak tak bersahabat.

“Jadi inget kata orang,” ucap Nabel membuat perhatian keduanya teralih padanya. Lantas, dia melanjutkan, “Kalau ikan lele makannya kotoran manusia. Jadi kalau kita makan ikan lele, sama aja kita makan kotoran manusia.” Ulfa dan Naila kembali bergidik. Membayangkan dulu waktu makan ikan lele begitu lahap. Apalagi ditambah sambel dan lalapan. Nikmat sekali.

“Emang isinya ikan lele, Bel?” tanya Naila. Nabel mengangguk.

“Iya ‘kan, Ul? Aku dengar dari anak kamar gitu.” Ulfa mengangguk, membenarkan ucapan Nabel.

“Iya. Makanya kotoran anak putra dibuang ke situ.”

Nabel mengusap lengannya sendiri. Mereka kembali ke tempat cuci piring. Memastikan jika sudah tidak ada lagi yang harus mereka kerjakan kini.

“Udah semua, kan?” tanya Ulfa kepada anak kamarnya. Mereka mengangguk kompak. Helaan napas lega terdengar.

“Ya udah. Balik ke kamar, yuk! Bentar lagi dipeluit. Suruh tadarus ke masjid kayak biasa.”

Selesai berucap, Ulfa berbalik dan pergi ke kamar disusul teman kamarnya yang lain, tak terkecuali Nabel. Namun, gadis itu berbelok ke tempat wudhu. Ingin mencuci tangan sekalian wudhu. Biar nanti tinggal berangkat ke masjid aja. Daripada bolak-balik naik-turun tangga. Yang ada malah capek duluan.

***

Nabel terdiam di shaf terdepan.

Shalat Isya’ sebentar lagi didirikan tapi perasaan Nabel sangat gelisah. Bendungan air matanya sudah tidak dapat ditahan lagi. Dia menangis.

Otaknya memutar kenangan buruk yang berhasil dia lalui. Saat pertama datang ke pondok ini dan mendapat tatapan tidak mengenakkan dari teman kamar sendiri. Saat Nabel dilabrak oleh teman kamar sendiri karena kesalahan Ambar. Saat Hindun dan Ambar justru memusuhinya karena Nabel membantu mereka cuci piring. Sejauh ini, Nabel berusaha ikhlas. Tapi mengapa tidak bisa?

Setiap malam sebelum tidur, Nabel sering menangis. Memikirkan perkataan mereka yang menyakiti hatinya. Nabel ingin intropeksi diri atas kejadian yang telah lalu. Namun, kenapa jatuhnya malah menyakiti diri sendiri? Yang berakhir menangis dalam diam agar beban yang ditanggung berkurang sedikit demi sedikit.

Iqamah berkumandang. Dengan cepat, Nabel mengusap air matanya menggunakan mukena. Dia bangkit bersama dengan teman di barisan utama. Bersiap untuk mendirikan shalat.

Allahu akbar.

Sungguh tenang hatinya mendengar lantunan ayat Al-Qur’an yang terdengar sangat indah. Berulang kali Nabel memejamkan matanya. Mati-matian menahan isak tangis yang hendak tumpah.

Lihat selengkapnya