Hari Minggu tiba. Seperti biasa, IS mengadakan lari pagi sekitar jam 7 dilanjut bersih-bersih pondok. Hal itu dilakukan agar para santri tidak bermalas-malasan di atas kasur. Terlebih, hari ini banyak santri yang dijenguk orang tua masing-masing.
Nabel kelabakan begitu mendengar peluit yang ditiup sangat keras.
Dia terlonjak kaget dari tidurnya. Dengan perasaan campur aduk, Nabel segera mengganti pakaiannya menjadi setelan olahraga. Mengabaikan rasa pusing di kepalanya akibat langsung bangun dari tempat tidur. Sepertinya, Nabel menderita darah rendah. Dia kurang paham karena belum pernah memastikan langsung ke dokter. Hanya melihat ciri-cirinya di internet sesuai apa yang dia rasakan.
Setelah shalat shubuh tadi, Nabel melanjutkan tidurnya yang tertunda. Terlebih hujan turun sejak kemarin malam. Menyisakan rintik kecil dan hawa dingin. Sangat cocok untuk bergulat di alam mimpi sembari bergulung selimut.
Nabel tidak pergi diniyah seperti teman kamarnya yang lain. Akhir-akhir ini, ustadz yang mengajar di kelas Tahfidz tidak masuk tanpa sebab. Bukan cuma satu, tapi 4 dan semuanya sama-sama tidak menghadiri kelas pagi dan sore. Nabel dan temannya yang lain sudah berusaha mencarinya ke kamar dan ke rumah ustadz langsung. Tetap saja hasilnya nihil.
Alhasil, Nabel benar-benar punya banyak waktu luang di pondok. Di saat teman-temannya mengaji, Nabel dan teman kamar yang ikut kelas Tahfidz juga menggunakan waktu itu untuk mandi, mencuci pakaian, atau menyetrika pakaian. Karena di saat-saat itulah, mereka tidak perlu mengantri lama.
Karena asik bermain di dunia mimpi, Nabel tidak sadar jika matahari sudah terbit dari arah timur. Sinar hangatnya sempat menerpa kelopak mata yang terpejam, mengingat posisi tidurnya menghadap ke jendela. Tapi anehnya Nabel tetap tidur nyenyak tanpa gangguan.
Dia baru bangun ketika mendengar peluit. Dan Nabel menyesali hal itu.
“10.”
“GILA!!” Nabel semakin mempercepat gerakan tangannya ketika mengusap bedak ke wajah. Dia belum mandi. Mukanya terlihat kucel karena baru bangun tidur. Oleh karena itu, Nabel menyamarkannya dengan bedak tabur.
“9.”
Nabel menyambar kaos kaki yang tergulung rapi di dekat deretan buku.
“8.”
“Astaga! Belum pakai sepatu sama kaos kaki.” Gadis itu geram. Dia menyambar jilbab yang menggantung di depan lemari dan memakainya cepat sembari keluar kamar.
“7.”
“Woy! Cepetan turunnya elah!” Teman kamar sebelah berseru lantang mendapati tangga atas dipadati adik kelas yang sama-sama hendak turun. Mereka panik tapi tidak bisa berbuat banyak selain menunggu orang yang di depan mereka turun terlebih dahulu.
“6.”
“Ya Allah! Cepetan turun, sih! Lama banget. Itu malah pakai sepatu di tangga. Gak lihat kondisi apa!” Indah menyindir adik kelasnya yang sangat santai memakai sepatu di anak tangga ketiga dari bawah. Tidak lihat kondisi, dia malah memakai sepatu di sana. Padahal anak tangga dipadati santri yang hendak turun ke bawah.
“5.”
Nabel menggigit bibir bawahnya cemas. Dia baru sampai di anak tangga bagian tengah. Tangannya yang sudah gatal akhirnya mendorong tubuh adik kelas yang ada di depannya. Kalau nanti kepalanya tertoleh ke arah belakang, Nabel akan pura-pura menyalahi orang yang di belakangnya. Bilang kalau jangan dorong-dorong dan harus sabar. Cerdas bukan?
“4.”
Gusti, ini kenapa lama banget turunnya? Mana gak bisa nyempil, batin Nabel gelisah. Kedua kakinya dihentak-hentakkan ke ubin lantai karena kesal. Decakan kecil terus lolos dari bibirnya. Ingin marah tapi tidak berhak.
“3.”
“Akhirnya sampai bawah.” Nabel berseru senang. Dia segera menabrak bahu teman dan adik kelasnya tanpa ampun agar sampai di lapangan tepat waktu.
“2.”