Siang ini, pendaftaraan Marching Band dibuka. Nabel, Nabila dan santri lain sudah berkumpul di koridor asrama yang terhubung dengan area sekolah. Menunggu arahan dari salah satu ustadzah di sana.
Nabel mendengar hal itu dari Nabila kemarin malam. Dia sangat antusias ketika menceritakannya pada Nabel.
Nabila berniat mendaftarkan diri sebagai pemegang terompet. Sedangkan Nabel ingin mendaftar sebagai mayoret. Awalnya, Nabila tidak percaya jika Nabel akan ikut Marching Band sama sepertinya. Dilihat dari kepribadian Nabel yang tidak menyukai kebisingan. Tapi ternyata, dugaan Nabila salah.
Semoga saja mereka diterima.
“Bil, ayo ke gedung MTs! Santri lain udah pada ke sana.”
Tubuh Nabila tersentak kaget mendengar seruan Nabel. Terlebih, tangan gadis itu menepuk bahunya berulang kali. Nabila mengangguk paham lantas bangkit. Keduanya bergegas pergi ke tempat yang dimaksud Nabel—gedung MTs.
Padatnya santriwati yang memenuhi ruang 8B membuat Nabel enggan masuk. Melihatnya saja Nabel sudah muak. Andai Nabila tidak menariknya masuk, sudah dapat dipastikan Nabel akan menunggu di luar. Nabel benar-benar tidak menyukai kebisingan yang satu ini.
Keduanya duduk di bangku tanpa meja yang tergeletak di belakang. Memilih untuk mengobrolkan hal lain daripada mendengar suara teman-temannya yang tidak jelas bersumber dari mana. Semuanya berbicara. Nabel sampai pusing.
Tak lama kemudian, sosok pria masuk. Peluit yang menggantung indah di lehernya menjadi ciri khasnya. Mengenakan celana training berwarna merah dipadu kuning juga kaos polos berwarna putih yang sangat cocok di tubuhnya. Tanpa senyum, dia berucap beberapa patah kata. Membagi santriwati yang mendaftar ke posisi yang tersedia di Marching Band.
Tidak hanya santriwati. Santriwan boleh ikut serta terutama di bagian yang membawa alat berat. Mereka yang mendaftar ada di kelas sebelah. Tidak bercampur dengan santriwati karena ruangannya tidak cukup.
“IS akan membagi kertas yang harus kalian isi sekarang. Terserah kalian mau masuk apa asal jangan serakah. Mayoret ya mayoret aja. Jangan sama terompet. Gak mungkin ‘kan ngayunin tongkat sambil niup terompet?” Seisi kelas tertawa mendengar ucapan pelatih. Mereka mengangguk paham.
IS putri yang ada di luar segera masuk membawa kotak kecil berisikan kertas kosong. Mereka segera membaginya rata.
Nabel menerima pemberian salah satu IS dengan senang hati. Dia segera menuliskan mayoret di sana lalu melipatnya cepat. Dia tersenyum. Tak sabar memegang tongkat yang sering dia mainkan dulu.
“Bel, kamu jadi daftar mayoret?” tanya Nabila. Nabel mengangguk mantap.
“Kamu jadi daftar yang megang terompet itu?” Giliran Nabila yang mengangguk. Dia baru selesai melipat kertas miliknya.
“Nanti kalau latihan, berangkatnya bareng, ya?”
“Iya, Bil.”
“Langsung ditarik aja, Ukh. Biar cepat,” ucap pelatih mengingatkan. IS putri kembali bergerak, menyodorkan kotak ke arah santriwati untuk diisi kertas yang telah diberikan tadi.
Nabel dan Nabila melakukan hal serupa. Keduanya menghela napas panjang setelah itu.
***
Tidak biasanya ustadz Miftah berangkat mengajar diniyah ba’da Ashar.
Nabel terkejut mendengar kabar dari Sasa. Sebelumnya, kelas Tahfidz libur tanpa sebab. Cukup lama, sampai-sampai santriwati yang menetap di kelas itu bosan bolak-balik ke rumah ustadz dengan hasil nihil.